Cerita Semu Dari Segelas Coke Float
Baiklah, setahun berlalu.
Beranjak dari rumah, kunaiki mobil Taruna hasil tabungan 3 tahunku.
Menuju sebuah restoran cepat saji di daerah pinggiran kota. Lajuku menuju arah matahari terbenam, menyusuri jalan protokol dengan kecepatan sedang, kubuka jendela mobilku dan menikmati polusi kotaku tercinta.
Lampu merah setelah jembatan menghentikan lajuku sejenak. Menerawang dalam senja jingga.
Kurogoh sakuku mencari Nokia 5130ku, memutar sebuah lagu. Homogenic – Kekal.
“It so dark in here
No I can`t see alight”
(* * *)
Kutelusuri by pass lalu aku memasang sein ke kanan, memutar setir dan mencari tempat parkir. Terdiam sejenak dan menatap langit-langit mobil.
Kumatikan handphoneku dan kukunci mobilku, berjalan menuju restoran cepat saji itu.
Sebuah pintu otomatis menyambut langkahku masuk.
Dan utopia itu terkenang lagi.
(* * *)
“Pesan apa pak ?” Tanya seorang pramusaji padaku. “ Coke float dan kentang goreng” jawabku singkat.
“Dibungkus atau makan disini, Pak?” tanyanya lagi. “Disini saja” jawabku singkat.
“Dua puluh lima ribu” lanjut pramusaji itu.
Kurogoh dompetku dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan hasil kerjaku bulan ini.
Tak sampai lima menit pesananku datang. Kuambil tempat duduk nomor dua di deretan dekat jendela.
Kutatap lekat kursi kosong didepanku, lalu kendaraan yang lalu lalang di depan restoran cepat saji ini.
Senyap sekejap.
Ritual “mengheningkan cipta” dimulai.
(* * *)
Kurasa sudah beberapa orang menganggapku aneh. Biarlah.
Kuseruput coke float yang kupesan dan kuambil beberapa batang kentang goreng dan kumakan perlahan.
Ditengah hening ku termenung.
Kutenggelamkan duniaku dalam segelas coke float.
( * * *)
Hari selanjutnya, masih di jalan yang sama. Menuju restoran cepat saji itu lagi.
Segelas coke float lagi, namun kali ini tanpa kentang goreng.
Aku beranjak meninggalkan restoran cepat saji itu, menuju parkiran. Namun tidak ke mobilku, aku hanya berdiri di lantai parkir tertinggi dan berbicara pada angin, tanpa jawaban.
“Hai” sebuah sapa menyadarkanku.
Seorang wanita yang sepertinya sebaya denganku. Rambut lurus kekinian, matanya bulat dengan wajah oval. Bibirnya tipis dengan polesan lipgloss pink. Dengan seragam restoran cepat saji itu.
“Ya ?” jawabku setelah sekian lama membisu.
“Ini hapemu ? “ tanyanya menyodorkan sebuah handphone Nokia 5130 berwarna merah.
Kurogoh tiap sakuku dan aku baru menyadari bahwa handphoneku tak ada.
“Iya, terima kasih. Tadi ketinggalan ya ? “ jawabku dengan sedikit senyum yang tipis.
“Iya..” jawabnya kilas. “Trus lagi ngapain disini ?” tanyanya menatap sekeliling.
“Ah, tidak. Hanya menghitung bintang “ jawabku samar.
“Hah ? Memangnya bisa dihitung ?” tanyanya heran.
Kujawab dengan senyum datar.
Kuambil coke floatku yang kuletakkan di pinggir pembatas tempat parkir dan menyeruputnya. Kembali berbicara pada angin.
“Ohya, namamu siapa ?” tanyanya berusaha mencairkan suasana.
Aku berbalik dan menjawab, “ Lingga”.
“Yoni..” lanjutnya memberikan tangan untuk kujabat.
Kujabat sejenak tangan lembut itu.
(* * *)
Hari ketiga, coke float ketiga. Masih di restoran cepat saji yang sama.
Kutatap seisi restoran itu, tak kudapat bayangnya.
Dan setelah kudapat pesananku, aku pergi melewati pintu otomatis dan melangkah keluar.
Kali ini aku berjalan menuju eskalator dan pergi ke mall yang masih satu gedung dengan restoran cepat saji itu.
Kali ini aku berhenti di sebuah toko roti, dan kupesan sebuah Croissant dan sebuah roti pizza daging.
Setelah itu aku duduk di bangku panjang yang disediakan pihak mall.
Sebuah lagu asing melantun dari speaker mall, lalu kunikmati Croissant dan coke floatku.
Kutatap roti pizza yang kubeli, sebuah simpati terbungkus dalam sekantong plastik pembungkus makanan.
Kuletakkan roti itu begitu saja di bangku. Karena memang aku tak berniat memakannya.
“Ga dimakan rotinya ?” sebuah tanya dari seorang wanita.
Wanita itu lagi.
Mungkin dia memiliki kamera pengawas untuk melihat dan menemukanku.
“Kamu mau ?” tanyaku.
“Boleh..” jawabnya dengan senyum simpul dari bibir tipis – pinknya.
Suatu keadaan memaksaku menghabiskan coke float di bangku ini lagi.
“Ohya Ngga, kenapa kamu sering banget beli coke float ?” tanyanya.
“Tak ada sesuatu yang spesial.” Jawabku tanpa ekspresi.
“Terus ?” sebuah tanya retorik meluncur dari bibirnya. “Kamu suka coke float ?”
“Tidak, aku bahkan tidak terbiasa minum minuman seperti ini “ jawabku. Berharap tak ada tanya lagi yang terlontar.
“Kamu aneh, Ngga “ lanjutnya menatapku.
Kubalas dengan sekilas senyuman datar.
(* * *)
Selanjutnya, aku berlibur dari cerita tentang coke float.
Mengembalikan kesadaranku pada kenyataan.
Bahwa aku masih ada di tempat dimana langit harus dijunjung.
Melupakan sejenak tentang coke float dan antek-anteknya.
Kuambil headset dari laci meja kantorku, kusambungkan ke komputer dan kusetel sebuah lagu dari winampku. Homogenic – Faraway Dreamer.
“ Inculpable angles/glorious dreamer
Mystify my fears of uncertainty
Beauty of the skies
Shaping all my tears of all memories”
(* * *)
Sekian minggu, tanpa coke float.
Entah, kurindukan sejenak utopia yang terbayang.
Di senja jingga ini aku menuju restoran cepat saji itu lagi.
Saat aku melangkah masuk ke restoran itu, seseorang menarik bajuku dari belakang.
“Hai Ngga..”
Wanita itu lagi. Kali ini tanpa seragam restoran cepat saji itu. Namun dengan dress berwarna cerah dengan tas jinjing kulit berwarna hitam.
“Bisa temenin aku ga? Lagi libur nih, ternyata ketemu kamu disini “ lanjutnya dengan nada wanita kekinian.
“Aku beli coke float dulu” jawabku.
“Coke float lagi.. Hihi” tawanya.
Setelah membeli segelas coke float aku pun menemaninya berkeliling.
Dan dia pun mulai bercerita bermacam-macam hal.
Sepertinya dia berbicara dengan bahasa planet mars.
Sama sekali tak bisa kumengerti.
(* * *)
Malam pun semakin larut. Begitupun aku juga terlarut dalam kesenyapan coke float.
Mall akan tutup, jadi kami beranjak ke tempat parkir.
Aku berjalan ke mobilku, entah kenapa dia mengikuti.
Saat ini adalah sebuah momen dimana coke floatku benar-benar habis. Sebelum masuk ke mobil, kubuang dulu gelas kosong coke float itu.
“Ngga..” panggilnya.
“Ya ?” tanyaku datar.
“Aku suka kamu dari saat pertama aku lihat kamu. “ jawabnya.
Aku tak berkata sepatah katapun.
“Kamu gimana, Ngga..? “ lanjutnya.
Kuberikan sekilas senyum datar terakhir padanya. Kubuka pintu mobilku dan aku masuk ke dalamnya.
“Ngga..Lingga ?!” panggilnya dari luar.
Kuambil Nokia 5130ku dan menyetel lagu lagi.
Lagi-lagi dari Homogenic – Serenada (Silent)
“Ironi yang tertuang, bersuara Imajinasiku
Bernaungnya cerita, pada elegiku Serenada
Irama tak bernada, implisitkan suasana Tragedi hidupku..
Puisi yang tak mungkin fiksi, Saat malamku pun, terjaga
Diam Biarkan ku bersuara
NadaTersirat dalam kisah
Diam Biarkan ku bersuara”
Kupacu mobilku keluar dari gedung ini. Lalu mencari keberadaan sebotol air mineral.
Kembali ke diriku yang seharusnya. Lupakan elegi coke float itu.
Beranjak dari rumah, kunaiki mobil Taruna hasil tabungan 3 tahunku.
Menuju sebuah restoran cepat saji di daerah pinggiran kota. Lajuku menuju arah matahari terbenam, menyusuri jalan protokol dengan kecepatan sedang, kubuka jendela mobilku dan menikmati polusi kotaku tercinta.
Lampu merah setelah jembatan menghentikan lajuku sejenak. Menerawang dalam senja jingga.
Kurogoh sakuku mencari Nokia 5130ku, memutar sebuah lagu. Homogenic – Kekal.
“It so dark in here
No I can`t see alight”
(* * *)
Kutelusuri by pass lalu aku memasang sein ke kanan, memutar setir dan mencari tempat parkir. Terdiam sejenak dan menatap langit-langit mobil.
Kumatikan handphoneku dan kukunci mobilku, berjalan menuju restoran cepat saji itu.
Sebuah pintu otomatis menyambut langkahku masuk.
Dan utopia itu terkenang lagi.
(* * *)
“Pesan apa pak ?” Tanya seorang pramusaji padaku. “ Coke float dan kentang goreng” jawabku singkat.
“Dibungkus atau makan disini, Pak?” tanyanya lagi. “Disini saja” jawabku singkat.
“Dua puluh lima ribu” lanjut pramusaji itu.
Kurogoh dompetku dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan hasil kerjaku bulan ini.
Tak sampai lima menit pesananku datang. Kuambil tempat duduk nomor dua di deretan dekat jendela.
Kutatap lekat kursi kosong didepanku, lalu kendaraan yang lalu lalang di depan restoran cepat saji ini.
Senyap sekejap.
Ritual “mengheningkan cipta” dimulai.
(* * *)
Kurasa sudah beberapa orang menganggapku aneh. Biarlah.
Kuseruput coke float yang kupesan dan kuambil beberapa batang kentang goreng dan kumakan perlahan.
Ditengah hening ku termenung.
Kutenggelamkan duniaku dalam segelas coke float.
( * * *)
Hari selanjutnya, masih di jalan yang sama. Menuju restoran cepat saji itu lagi.
Segelas coke float lagi, namun kali ini tanpa kentang goreng.
Aku beranjak meninggalkan restoran cepat saji itu, menuju parkiran. Namun tidak ke mobilku, aku hanya berdiri di lantai parkir tertinggi dan berbicara pada angin, tanpa jawaban.
“Hai” sebuah sapa menyadarkanku.
Seorang wanita yang sepertinya sebaya denganku. Rambut lurus kekinian, matanya bulat dengan wajah oval. Bibirnya tipis dengan polesan lipgloss pink. Dengan seragam restoran cepat saji itu.
“Ya ?” jawabku setelah sekian lama membisu.
“Ini hapemu ? “ tanyanya menyodorkan sebuah handphone Nokia 5130 berwarna merah.
Kurogoh tiap sakuku dan aku baru menyadari bahwa handphoneku tak ada.
“Iya, terima kasih. Tadi ketinggalan ya ? “ jawabku dengan sedikit senyum yang tipis.
“Iya..” jawabnya kilas. “Trus lagi ngapain disini ?” tanyanya menatap sekeliling.
“Ah, tidak. Hanya menghitung bintang “ jawabku samar.
“Hah ? Memangnya bisa dihitung ?” tanyanya heran.
Kujawab dengan senyum datar.
Kuambil coke floatku yang kuletakkan di pinggir pembatas tempat parkir dan menyeruputnya. Kembali berbicara pada angin.
“Ohya, namamu siapa ?” tanyanya berusaha mencairkan suasana.
Aku berbalik dan menjawab, “ Lingga”.
“Yoni..” lanjutnya memberikan tangan untuk kujabat.
Kujabat sejenak tangan lembut itu.
(* * *)
Hari ketiga, coke float ketiga. Masih di restoran cepat saji yang sama.
Kutatap seisi restoran itu, tak kudapat bayangnya.
Dan setelah kudapat pesananku, aku pergi melewati pintu otomatis dan melangkah keluar.
Kali ini aku berjalan menuju eskalator dan pergi ke mall yang masih satu gedung dengan restoran cepat saji itu.
Kali ini aku berhenti di sebuah toko roti, dan kupesan sebuah Croissant dan sebuah roti pizza daging.
Setelah itu aku duduk di bangku panjang yang disediakan pihak mall.
Sebuah lagu asing melantun dari speaker mall, lalu kunikmati Croissant dan coke floatku.
Kutatap roti pizza yang kubeli, sebuah simpati terbungkus dalam sekantong plastik pembungkus makanan.
Kuletakkan roti itu begitu saja di bangku. Karena memang aku tak berniat memakannya.
“Ga dimakan rotinya ?” sebuah tanya dari seorang wanita.
Wanita itu lagi.
Mungkin dia memiliki kamera pengawas untuk melihat dan menemukanku.
“Kamu mau ?” tanyaku.
“Boleh..” jawabnya dengan senyum simpul dari bibir tipis – pinknya.
Suatu keadaan memaksaku menghabiskan coke float di bangku ini lagi.
“Ohya Ngga, kenapa kamu sering banget beli coke float ?” tanyanya.
“Tak ada sesuatu yang spesial.” Jawabku tanpa ekspresi.
“Terus ?” sebuah tanya retorik meluncur dari bibirnya. “Kamu suka coke float ?”
“Tidak, aku bahkan tidak terbiasa minum minuman seperti ini “ jawabku. Berharap tak ada tanya lagi yang terlontar.
“Kamu aneh, Ngga “ lanjutnya menatapku.
Kubalas dengan sekilas senyuman datar.
(* * *)
Selanjutnya, aku berlibur dari cerita tentang coke float.
Mengembalikan kesadaranku pada kenyataan.
Bahwa aku masih ada di tempat dimana langit harus dijunjung.
Melupakan sejenak tentang coke float dan antek-anteknya.
Kuambil headset dari laci meja kantorku, kusambungkan ke komputer dan kusetel sebuah lagu dari winampku. Homogenic – Faraway Dreamer.
“ Inculpable angles/glorious dreamer
Mystify my fears of uncertainty
Beauty of the skies
Shaping all my tears of all memories”
(* * *)
Sekian minggu, tanpa coke float.
Entah, kurindukan sejenak utopia yang terbayang.
Di senja jingga ini aku menuju restoran cepat saji itu lagi.
Saat aku melangkah masuk ke restoran itu, seseorang menarik bajuku dari belakang.
“Hai Ngga..”
Wanita itu lagi. Kali ini tanpa seragam restoran cepat saji itu. Namun dengan dress berwarna cerah dengan tas jinjing kulit berwarna hitam.
“Bisa temenin aku ga? Lagi libur nih, ternyata ketemu kamu disini “ lanjutnya dengan nada wanita kekinian.
“Aku beli coke float dulu” jawabku.
“Coke float lagi.. Hihi” tawanya.
Setelah membeli segelas coke float aku pun menemaninya berkeliling.
Dan dia pun mulai bercerita bermacam-macam hal.
Sepertinya dia berbicara dengan bahasa planet mars.
Sama sekali tak bisa kumengerti.
(* * *)
Malam pun semakin larut. Begitupun aku juga terlarut dalam kesenyapan coke float.
Mall akan tutup, jadi kami beranjak ke tempat parkir.
Aku berjalan ke mobilku, entah kenapa dia mengikuti.
Saat ini adalah sebuah momen dimana coke floatku benar-benar habis. Sebelum masuk ke mobil, kubuang dulu gelas kosong coke float itu.
“Ngga..” panggilnya.
“Ya ?” tanyaku datar.
“Aku suka kamu dari saat pertama aku lihat kamu. “ jawabnya.
Aku tak berkata sepatah katapun.
“Kamu gimana, Ngga..? “ lanjutnya.
Kuberikan sekilas senyum datar terakhir padanya. Kubuka pintu mobilku dan aku masuk ke dalamnya.
“Ngga..Lingga ?!” panggilnya dari luar.
Kuambil Nokia 5130ku dan menyetel lagu lagi.
Lagi-lagi dari Homogenic – Serenada (Silent)
“Ironi yang tertuang, bersuara Imajinasiku
Bernaungnya cerita, pada elegiku Serenada
Irama tak bernada, implisitkan suasana Tragedi hidupku..
Puisi yang tak mungkin fiksi, Saat malamku pun, terjaga
Diam Biarkan ku bersuara
NadaTersirat dalam kisah
Diam Biarkan ku bersuara”
Kupacu mobilku keluar dari gedung ini. Lalu mencari keberadaan sebotol air mineral.
Kembali ke diriku yang seharusnya. Lupakan elegi coke float itu.