Love, Time and Death
Love, Time and Death
Hari ini, aku bermimpi. Mimpi di sebuah peternakan di pinggiran desa. Aku melihat mentari cerah menerangi, lalu padang rumput yang luas diterpa angin lembut. Setelah itu, aku mendengar suara lelaku tua memanggilku, tapi bukan memanggil namaku. Entah, aku tak mendengarnya jelas. Lalu aku menoleh kearah suara itu.
Aku terbangun di kamarku pagi hari. Matahari menembus jendela kamarku. Aku luangkan waktu sejenak untuk merenungkan mimpi tadi. Ah, aku tak mengerti. Jadi aku segera bangun dan berangkat sekolah.
Kuperkenalkan diriku, aku Arthe, 14 tahun. Entah kenapa sejak dulu aku selalu merasa ada yang kurang pada diriku, entah itu apa, tapi rasanya selalu ada yang kurang di hidupku. Padahal aku berasal dari keluarga terpandang, punya teman-teman dan keluarga yang baik, aku cukup pintar bahkan bisa dibilang aku ini tampan (menurutku) tapi tetap saja aku merasa ada yang kurang di hidupku, entah apa itu.
Di kelas, aku jalani pelajaran seperti biasanya. Namun tiba-tiba semua orang gerakannya menjadi lambat lalu setelah itu waktu menjadi terhenti. Dari langit-langit muncullah sebuah lorong hitam dan dari sana jatuh seorang wanita berumur sekitar duapuluhan, berambut hitam panjang dengan wajah yang pucat seperti mayat, serta pakaiannya yang serba hitam. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari. Aku merasa takut sekali hingga aku tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba ia mencekikku dan berkata “ Kembalikan hatiku “. Aku tak mengerti apa yang ia maksud. Lalu ia menyentuhkan tangan kanannya ke dadaku dan merobeknya, terasa sangat sakit! Tapi aku tidak bisa bergerak sedikitpun. Setelah itu ia menusukkan tangannya hingga menembus dadaku.
“ Arthe, bangun !”, terdengar suara orang berteriak di dekat telingaku. Aku membuka mataku, ternyata aku tertidur di kelas. Pak guru membangunkanku dan memarahiku, setelah itu menyuruhku berdiri di depan kelas. Namun dalam hati ku bertanya, apa maksud wanita itu tadi. Apa yang ia maksud dengan ‘hatinya’? Dan semua itu menjadi sebuah tanda tanya besar di benakku.
Hari ini, aku bermimpi lagi. Mimpi yang sama di sebuah peternakan. Danlagi, ku dengar ada suara pria tua yang memanggilku samar-samar, tapi aku tidak tahu siapa yang dipanggilnya, aku menoleh lalu berlari ke arahnya, dia menyambutku dengan kedua tangannya, namun wajahnya terlihast seperti mozaik samar. Aku lalu memeluknya dan ia mengangkatku tinggi, terasa sangat menyenangkan. Suara canda tawa, lalu wajah-wajah samar lainnya yang mulai ku lihat. Dan aku bertanya, “ Ini ingatan siapa? “.
Dan akhirnya aku terbangun di kamarku lagi. Aku semakin tak mengerti. Tiba-tiba ibu mengetuk pintu kamarku dan memberiku sebuah surat. “ Surat ? “, tanyaku pada ibu. Ibu hanya mengangkat bahunya. Lalu aku mengamati surat itu, tidak satu identitas pun tertulis di amplopnya, putih mulus. Lalu aku membukanya dan mendapatkan sebuah surat yang dituliskan di sebuah kertas lusuh.
24 September 1909
Untuk diriku,
Seperti yang sudah direncanakan, aku mengirim surat padamu. Hari ini, Jumat, 24 September 1909. hari kebangkitanku. Aku menulisnya agar kau bisa mengembalikan kepingan hatiku yang ku tinggal. Mungkin ini berat bagimu tapi aku harus mencar sesuatu di masamu. Jadi kumohon relakan hatimu karena hatimu adalah kepingan dari hatiku.
Salam,
“ Apa maksudnya ini ?”, tanyaku dalam hati. 1909 itu kan 100 tahun lalu ? Tak mungkin ada surat bertanggalkan 100 tahun lalu. Bahkan surat ini ditulis oleh ‘diriku’ ? Lalu tak tercantum nama, hanya dibubuhi tanda tangan. Mungkin pekerjaan orang iseng ? Tapi ia membicarakan ‘hati’ miliknya. Wanita itu kah ? Bagaimana mungkin ?
Lalu aku bangun dari duduk dan melempar surat itu ke kasur dan berjalan menuju kamar mandi, kurasa pikiranku perlu disegarkan. Namun begitu kubuka pintu kamar mandi wanita itu telah ada di depan pintu dan langsung menyentuh dahiku. Kurasa aku seperti tersedot ke tempat lain.
Di suatu malam, di depan pintu sebuah kastil banyak orang berkumpul dan berusaha mendobrak gerbang kastil tersebut, mereka membawa obor, pisau dan berbagai macam senjata lainnya, dan mereka berteriak, “ Bunuh penyihir !”
Sementara di dalam kastil, Sang Penyihir wanita memandang kerumunan orang-orang itu dengan tenang dari jendela. Rambut hitam panjangnya berkibar ditiup angin malam.
“ Cyril, kau tidak apa-apa ? “, tanya seorang pria sebaya dengan Cyril, penyihir tersebut.
“ Tidak apa-apa, aku sudah tahu ini akan terjadi, Bryan “, jawab Cyril memegang bahu Bryan.
“ Maafkan aku, karena aku, kau seperti ini… “, kata Bryan tertunduk.
“Bukan salahmu, andai saja aku bukan penyihir, kita pasti bisa hidup bersama. Namun ada yang mengungkap identitasku “, jawab Cyril. “ Mereka semua akan masuk ke kastil ini dan membunuhku. Aku tahu hal ini akan terjadi sejak pertama aku bertemu denganmu. Seharusnya aku bisa mengubah semuanya dengan menghindarimu, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku “ lanjut Cyril sambil memeluk erat Bryan.
“ Tunggu “, kata Bryan melepas pelukan Cyril. “ Jika aku bisa menjelaskan ini semua pada orang-orang, mereka pasti akan mengerti.”
“ Tidak “, elak Cryil. “ Mereka terlanjur menganggap semua penyihir itu jahat “, lanjut Cyril dengan tatapan menerawang.
Sementara itu, orang-orang di luar berhasil mendobrak pintu kastil dan masuk.
“ Lalu, kita harus bagaimana sekarang ?”, tanya Bryan. “ Aku tidak ingin melihatmu mati “.
“ Kita masih punya jalan, Bryan “, jawab Cyril memeluk Bryan dan mencium bibirnya.
“ Bukankah kita tidak punya waktu untuk ini ?”
“ Itu kecupan perpisahan dariku, semoga kita bisa bertemu lagi “ jawab Cyril gemetar dan mulai meneteskan air mata.
“ Maksudmu Cyril ?”, tanya Bryan tak mengerti, namun bersamaan dengan itu tubuhnya memudar. “ Ah ! Apa yang terjadi ? Apa yang kau lakukan padaku Cyril ?”
“ Dengan segenap kekuatanku, aku mengirimmu ke masa depan, di masa dimana kita bisa hidup bersama. Aku tidak tahu entah kapan masa itu…hik..hik..“, jawab Cyril terisak.
“ Apa !? “, Bryan terkejut. “ Ta..tapi…”
Kata-kata Bryan terputus saat Cryil memeluk tubuhnya yang memudar. Dan Bryan membalasnya dengan pelukan yang erat karena takut tidak bisa bertemu Cyril lagi.
“ Hik..hik..Ber..berjanjilah padaku Bryan. Sampai kapanpun kau harus menunggu kedatanganku….”, isak Cyril di dada Bryan.
“Aku berjanji padamu, Cyril….”, kata terakhir Bryan saat tubuhnya benar-benar menghilang dari pandangan Cyril.
Cyril mengusap air matanya yang menetes dengan tangannya, namun tiba-tiba orang-orang telah mendobrak pintu kamar Cyril dan mendapatinya berdiri sendiri.
“ Kau kemanakan Bryan ?” tanya seorang warga dengan marah.
“ Aku telah membunuhnya “, jawab Cyril dengan wajah dingin.
Mendengar hal itu, orang-orang sangat marah dan memutuskan untuk membunuh Cyril saat itu juga. Dia dipukul dan ditusuk hingga tubuhnya penuh luka dan tidak bisa dikenali lagi, namun ia belum mati. Setelah itu, ia diikat di sebuah salib dan diarak menuju tengah desa. Disana telah dinyalakan api yang besar. Tubuh Cyril dilempar dan terbakar dalam kobaran api. Namun sesaat sebelum dia mati, ia mengirimkan kepingan hatinya ke masa depan. Agar ia bisa ke masa itu dan mencari Bryan.
Akhirnya jiwa Cyril membumbung seiring asap kobaran api yang pengap menuju langit malam yang sendu.
Setelah kilasan ingatan tadi tanpa sadar aku menangis. Akhirnya aku tahu bahwa aku adalah kepingan hati Cyril. Lalu mimpi-mimpi itu adalah kehidupan kepingan hati Cyril di masa sebelum diriku. 1904, kepingan hati Cyril ada pada seorang gadis di sebuah peternakan. Hampir 98 tahun ia mencari Bryan, namun ia tidak menemukannya sehingga ia harus pergi karena ‘waktu hati’nya telah habis, dan ia harus mengirimkannya lagi. Dan ia juga menyertakan surat yang dikirim beserta hatinya. Begitu terus hingga hatinya habis terbagi jika ia tidak menemukan Bryan.
Pencarian Cyril belum selesai. Kepingan hatinya ada padaku, jadi aku harus mengembalikannya.
Cyril tersenyum, namun tiba-tiba ia menusuk dadaku. Sangat sakit ! Tapi aku tidak bisa bergerak sama sekali. Darah terciprat keluar membasahi lantai.
Saat ia menarik tangannya, terlihat ia memegang sebuah bulatan cahaya kecil berwarna merah. Bulatan cahaya kecil itu lalu ia sentuhkan ke dadanya. Wajahnya yang pucat kembali hidup. Bersamaan denan itu, rasa sakit di tubuhku hilang dan tubuhku pupus menjadi pendar cahaya kecil perlahan.
“ Terima kasih…”, ucap Cyril untuk terakhir kalinya padaku sebelum aku menghilang ditiup angin.
Cerita ini baru dimulai. Ini adalah sebuah permulaan dari akhir yang ditentukan. Apakah waktu yang telah mempermainkan Cyril atau ia yang bermain-main dengan waktu ? Namun cinta sejati tak akan terhalang oleh waktu dan kematian.
~END~
Hari ini, aku bermimpi. Mimpi di sebuah peternakan di pinggiran desa. Aku melihat mentari cerah menerangi, lalu padang rumput yang luas diterpa angin lembut. Setelah itu, aku mendengar suara lelaku tua memanggilku, tapi bukan memanggil namaku. Entah, aku tak mendengarnya jelas. Lalu aku menoleh kearah suara itu.
Aku terbangun di kamarku pagi hari. Matahari menembus jendela kamarku. Aku luangkan waktu sejenak untuk merenungkan mimpi tadi. Ah, aku tak mengerti. Jadi aku segera bangun dan berangkat sekolah.
Kuperkenalkan diriku, aku Arthe, 14 tahun. Entah kenapa sejak dulu aku selalu merasa ada yang kurang pada diriku, entah itu apa, tapi rasanya selalu ada yang kurang di hidupku. Padahal aku berasal dari keluarga terpandang, punya teman-teman dan keluarga yang baik, aku cukup pintar bahkan bisa dibilang aku ini tampan (menurutku) tapi tetap saja aku merasa ada yang kurang di hidupku, entah apa itu.
Di kelas, aku jalani pelajaran seperti biasanya. Namun tiba-tiba semua orang gerakannya menjadi lambat lalu setelah itu waktu menjadi terhenti. Dari langit-langit muncullah sebuah lorong hitam dan dari sana jatuh seorang wanita berumur sekitar duapuluhan, berambut hitam panjang dengan wajah yang pucat seperti mayat, serta pakaiannya yang serba hitam. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari. Aku merasa takut sekali hingga aku tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba ia mencekikku dan berkata “ Kembalikan hatiku “. Aku tak mengerti apa yang ia maksud. Lalu ia menyentuhkan tangan kanannya ke dadaku dan merobeknya, terasa sangat sakit! Tapi aku tidak bisa bergerak sedikitpun. Setelah itu ia menusukkan tangannya hingga menembus dadaku.
“ Arthe, bangun !”, terdengar suara orang berteriak di dekat telingaku. Aku membuka mataku, ternyata aku tertidur di kelas. Pak guru membangunkanku dan memarahiku, setelah itu menyuruhku berdiri di depan kelas. Namun dalam hati ku bertanya, apa maksud wanita itu tadi. Apa yang ia maksud dengan ‘hatinya’? Dan semua itu menjadi sebuah tanda tanya besar di benakku.
Hari ini, aku bermimpi lagi. Mimpi yang sama di sebuah peternakan. Danlagi, ku dengar ada suara pria tua yang memanggilku samar-samar, tapi aku tidak tahu siapa yang dipanggilnya, aku menoleh lalu berlari ke arahnya, dia menyambutku dengan kedua tangannya, namun wajahnya terlihast seperti mozaik samar. Aku lalu memeluknya dan ia mengangkatku tinggi, terasa sangat menyenangkan. Suara canda tawa, lalu wajah-wajah samar lainnya yang mulai ku lihat. Dan aku bertanya, “ Ini ingatan siapa? “.
Dan akhirnya aku terbangun di kamarku lagi. Aku semakin tak mengerti. Tiba-tiba ibu mengetuk pintu kamarku dan memberiku sebuah surat. “ Surat ? “, tanyaku pada ibu. Ibu hanya mengangkat bahunya. Lalu aku mengamati surat itu, tidak satu identitas pun tertulis di amplopnya, putih mulus. Lalu aku membukanya dan mendapatkan sebuah surat yang dituliskan di sebuah kertas lusuh.
24 September 1909
Untuk diriku,
Seperti yang sudah direncanakan, aku mengirim surat padamu. Hari ini, Jumat, 24 September 1909. hari kebangkitanku. Aku menulisnya agar kau bisa mengembalikan kepingan hatiku yang ku tinggal. Mungkin ini berat bagimu tapi aku harus mencar sesuatu di masamu. Jadi kumohon relakan hatimu karena hatimu adalah kepingan dari hatiku.
Salam,
“ Apa maksudnya ini ?”, tanyaku dalam hati. 1909 itu kan 100 tahun lalu ? Tak mungkin ada surat bertanggalkan 100 tahun lalu. Bahkan surat ini ditulis oleh ‘diriku’ ? Lalu tak tercantum nama, hanya dibubuhi tanda tangan. Mungkin pekerjaan orang iseng ? Tapi ia membicarakan ‘hati’ miliknya. Wanita itu kah ? Bagaimana mungkin ?
Lalu aku bangun dari duduk dan melempar surat itu ke kasur dan berjalan menuju kamar mandi, kurasa pikiranku perlu disegarkan. Namun begitu kubuka pintu kamar mandi wanita itu telah ada di depan pintu dan langsung menyentuh dahiku. Kurasa aku seperti tersedot ke tempat lain.
( * * * )
Di suatu malam, di depan pintu sebuah kastil banyak orang berkumpul dan berusaha mendobrak gerbang kastil tersebut, mereka membawa obor, pisau dan berbagai macam senjata lainnya, dan mereka berteriak, “ Bunuh penyihir !”
Sementara di dalam kastil, Sang Penyihir wanita memandang kerumunan orang-orang itu dengan tenang dari jendela. Rambut hitam panjangnya berkibar ditiup angin malam.
“ Cyril, kau tidak apa-apa ? “, tanya seorang pria sebaya dengan Cyril, penyihir tersebut.
“ Tidak apa-apa, aku sudah tahu ini akan terjadi, Bryan “, jawab Cyril memegang bahu Bryan.
“ Maafkan aku, karena aku, kau seperti ini… “, kata Bryan tertunduk.
“Bukan salahmu, andai saja aku bukan penyihir, kita pasti bisa hidup bersama. Namun ada yang mengungkap identitasku “, jawab Cyril. “ Mereka semua akan masuk ke kastil ini dan membunuhku. Aku tahu hal ini akan terjadi sejak pertama aku bertemu denganmu. Seharusnya aku bisa mengubah semuanya dengan menghindarimu, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku “ lanjut Cyril sambil memeluk erat Bryan.
“ Tunggu “, kata Bryan melepas pelukan Cyril. “ Jika aku bisa menjelaskan ini semua pada orang-orang, mereka pasti akan mengerti.”
“ Tidak “, elak Cryil. “ Mereka terlanjur menganggap semua penyihir itu jahat “, lanjut Cyril dengan tatapan menerawang.
Sementara itu, orang-orang di luar berhasil mendobrak pintu kastil dan masuk.
“ Lalu, kita harus bagaimana sekarang ?”, tanya Bryan. “ Aku tidak ingin melihatmu mati “.
“ Kita masih punya jalan, Bryan “, jawab Cyril memeluk Bryan dan mencium bibirnya.
“ Bukankah kita tidak punya waktu untuk ini ?”
“ Itu kecupan perpisahan dariku, semoga kita bisa bertemu lagi “ jawab Cyril gemetar dan mulai meneteskan air mata.
“ Maksudmu Cyril ?”, tanya Bryan tak mengerti, namun bersamaan dengan itu tubuhnya memudar. “ Ah ! Apa yang terjadi ? Apa yang kau lakukan padaku Cyril ?”
“ Dengan segenap kekuatanku, aku mengirimmu ke masa depan, di masa dimana kita bisa hidup bersama. Aku tidak tahu entah kapan masa itu…hik..hik..“, jawab Cyril terisak.
“ Apa !? “, Bryan terkejut. “ Ta..tapi…”
Kata-kata Bryan terputus saat Cryil memeluk tubuhnya yang memudar. Dan Bryan membalasnya dengan pelukan yang erat karena takut tidak bisa bertemu Cyril lagi.
“ Hik..hik..Ber..berjanjilah padaku Bryan. Sampai kapanpun kau harus menunggu kedatanganku….”, isak Cyril di dada Bryan.
“Aku berjanji padamu, Cyril….”, kata terakhir Bryan saat tubuhnya benar-benar menghilang dari pandangan Cyril.
Cyril mengusap air matanya yang menetes dengan tangannya, namun tiba-tiba orang-orang telah mendobrak pintu kamar Cyril dan mendapatinya berdiri sendiri.
“ Kau kemanakan Bryan ?” tanya seorang warga dengan marah.
“ Aku telah membunuhnya “, jawab Cyril dengan wajah dingin.
Mendengar hal itu, orang-orang sangat marah dan memutuskan untuk membunuh Cyril saat itu juga. Dia dipukul dan ditusuk hingga tubuhnya penuh luka dan tidak bisa dikenali lagi, namun ia belum mati. Setelah itu, ia diikat di sebuah salib dan diarak menuju tengah desa. Disana telah dinyalakan api yang besar. Tubuh Cyril dilempar dan terbakar dalam kobaran api. Namun sesaat sebelum dia mati, ia mengirimkan kepingan hatinya ke masa depan. Agar ia bisa ke masa itu dan mencari Bryan.
Akhirnya jiwa Cyril membumbung seiring asap kobaran api yang pengap menuju langit malam yang sendu.
( * * * )
Setelah kilasan ingatan tadi tanpa sadar aku menangis. Akhirnya aku tahu bahwa aku adalah kepingan hati Cyril. Lalu mimpi-mimpi itu adalah kehidupan kepingan hati Cyril di masa sebelum diriku. 1904, kepingan hati Cyril ada pada seorang gadis di sebuah peternakan. Hampir 98 tahun ia mencari Bryan, namun ia tidak menemukannya sehingga ia harus pergi karena ‘waktu hati’nya telah habis, dan ia harus mengirimkannya lagi. Dan ia juga menyertakan surat yang dikirim beserta hatinya. Begitu terus hingga hatinya habis terbagi jika ia tidak menemukan Bryan.
Pencarian Cyril belum selesai. Kepingan hatinya ada padaku, jadi aku harus mengembalikannya.
Cyril tersenyum, namun tiba-tiba ia menusuk dadaku. Sangat sakit ! Tapi aku tidak bisa bergerak sama sekali. Darah terciprat keluar membasahi lantai.
Saat ia menarik tangannya, terlihat ia memegang sebuah bulatan cahaya kecil berwarna merah. Bulatan cahaya kecil itu lalu ia sentuhkan ke dadanya. Wajahnya yang pucat kembali hidup. Bersamaan denan itu, rasa sakit di tubuhku hilang dan tubuhku pupus menjadi pendar cahaya kecil perlahan.
“ Terima kasih…”, ucap Cyril untuk terakhir kalinya padaku sebelum aku menghilang ditiup angin.
Cerita ini baru dimulai. Ini adalah sebuah permulaan dari akhir yang ditentukan. Apakah waktu yang telah mempermainkan Cyril atau ia yang bermain-main dengan waktu ? Namun cinta sejati tak akan terhalang oleh waktu dan kematian.
~END~
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda