Rabu, 10 Maret 2010

The Talkless







The Talkless

Chapter 1 : Kedatangan Mereka

Talkless. Begitulah Mereka disebut. Mereka tak pernah terlihat bicara, mungkin bisu. Dan pakaian mereka semua sama. Jubah cokelat berkerudung menutupi seluruh tubuh mereka. Bahkan, tak ada yang tahu bagaimana wajah mereka.

Mereka berkelana ke setiap kota, tiap desa, tiap tempat yang ditinggali manusia. Mereka biasanya menetap beberapa hari di satu tempat, lalu pergi lagi. Entah apa yang mereka lakukan, namun yang terlihat mereka hanya duduk atau berjalan di sekitar kota. Jika malam, mereka mendirikan tenda di lapangan kota atau tempat yang luas agar tidak mengganggu penduduk setempat.

Di beberapa tempat, kaum Talkless dijadikan pengukur musim secara tak langsung. Di beberapa tempat, mereka biasa dating di akhir musim dingin, menandakan datangnya musim semi. Atau mungkin sebaliknya.

Di beberapa tempat, ada yang menyambut kedatangan mereka dengan pesta besar-besaran. Begitu banyak makanan dan minuman yang diberikan pada mereka. Mereka dianggap dewa disana.

Begitu pula sebaliknya, di beberapa tempat orang-orang menjauhi mereka. Para penduduk menutup pintu dan jendela mereka saat datangnya Kaum Talkless.

Namun di balik jubah mereka, tersimpan begitu banyak rahasia.

Ya, ini adalah cerita tentang mereka. The Talkless

(* * *)

Di sebuah rumah yang ada di sebuah desa yang ada di belahan bumi utara. Seorang wanita berjalan menaiki tangga rumahnya menuju sebuah kamar disana. Di kamar itu, seorang bocah kecil berumur sekitar 10 tahun masih meringkuk menikmati alam mimpinya di tengah dinginnya pagi bersalju. Bocah itu berambut merah, senada dengan wanita itu. Dan bentuk wajahnya tak berbeda jauh dengan wanita itu. Lalu wanita itu duduk di kasur dan membangunkan bocah kecil itu.

“Ariel, bangun..”

Perlahan, Ariel membuka matanya dan menguceknya perlahan. “ Ada apa Bu ?” tanyanya.

“ Mereka datang .” kata ibu Ariel dengan penuh senyum. “ Mereka. . Siapa ?” Tanya Ariel bengun dari tempat tidurnya dan duduk disamping ibunya. “ Kaum Talkless, apa kau lupa ? “ kata ibunya mengusap-usap rambut merah Ariel yang berantakan.

Ariel tersentak dan langsung melompat dari duduknya, namun saat akan berjalan, tangannya dipegang ibunya.

“ Hei. . “ kata ibu Ariel sambil menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan kiri. “ Rapikan dulu tempat tidurmu, mandi, baru boleh pergi. “ kata ibu Ariel bangun dari duduknya dan berjalan keluar kamar.

“ Iya Bu. .” keluh Ariel sambil merapikan tempat tidurnya.

(* * *)

Salju masih menumpuk di jendela Ariel. Dia lalu membuka jendelanya seusai membersihkan kamr dan mandi. Gumpalan-gumpalan salju jatuh dari jendelanya yang dibuka. Ariel lalu memasang penopang jendela dan melihat suasana diluar.

Matahari bersinar hangat. Di jalanan tampak beberapa anak berjalan dengan mantel musim dinginnya, beberapa lainnya sedang bermain bola salju. Dan orang-orang dewasa sedang membersihkan salju dari atap dan halaman rumah mereka.

Ariel tersenyum senang, lalu bergegas menyambar jaketnya yang tergantung di tembok, memakainya lalu keluar kamar.

“ Ariel, sarapan !” teriak ibunya dari ruang makan saat Ariel menuruni tangga.

Ariel berlari ke ruang makan, menyambar kue panekuk buatan ibunya dan berlari keluar. “ Aku pergi dulu Bu. . Yah. .” kata Ariel sambil melambaikan tangan kanannya dan melahap kue dengan tangan kirinya.

“ Dia pergi kemana ?” Tanya ayah Ariel yang duduk di meja makan. “ Kau lupa ? ini akhir musim dingin kan ?” Tanya ibu Ariel sambil berjalan membawa sepiring kue panekuk ke meja. “Ngg. . Kaum Talkless ?” Tanya ayah Ariel dengan wajah sedikit mengernyit. “ Iya John. “ kata ibu Ariel meletakkan sepiring panekuk di depan suaminya dan bersandar ke meja.

“ Kau ingat ? Waktu kecil kita senang sekali ketika Kaum Talkless datang. .” kata John melahap panekuknya. “ Iya, waktu itu kita sama seperti Ariel sekarang. Begitu girang saat mereka datang. Aku dulu bahkan sampai menyelinap keluar jendela ketika ibuku tak mengizinkanku keluar. Hahaha. “ tawa ibu Ariel. “itu semua hanya untuk melihat mata Kaum Talkless, banyak yang bilang kalau bisa melihat mata mereka maka akan dapat keberuntungan. Tapi sampai sekarang aku bahkan tak pernah melihat wajah mereka. “ lanjutnya sambil menggulung rambut keriting merahnya dengan telunjuk.

“ Matilda, itulah yang membuat rambutmu keriting. “ komentar John menunuk rambut Matilda. “ Eh ! Aku tak sadar . “ katanya spontan melepas telunjuknya.

“ Ehm. . Matilda, tambah lagi. .” kata John menyodorkan piringnya dengan sedikit malu-malu.

Matilda menggaruk kepalanya. “ John, itulah yang membuatmu gemuk. “ tunjuk Matilda pada piring John, membalas perkataannya tadi. “ Hah, apa ?” tanya John heran. “ Kau tak sadar menghabiskan berapa piring kue pagi ini ?” tanya Matilda. Namun John hanya menggeleng dengan polos.

“ Lima belas tahu ! “ gerutu Matilda menyambar piring John dan mengambilkan sepiring lagi kue panekuk untuknya.

“ Hehehe. .” John tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.

Baik John maupun Matilda kini sedang membayangkan masa kecil mereka saat menonton Talkless. Mereka tak tahu apa yang terjadi pada hidup mereka jika Kaum Talkless tak hadir. Mungkin mereka berdua tak akan bertemu. Dalam kisah tentang Talkless.

Secara tak langsung Talkless telah membantu mereka menemukan cinta sejatinya.

(* * *)

Di sebuah hutan Oak, kerudung-kerudung cokelat berjalan terseok-seok di tengah tumpukan salju. Ada yang tinggi, pendek, gemuk dan kurus. Jumlahnya sekitar dua puluhan.

Gerombolan itu pun berjalan pelan menuju desa terdekat.

Seorang Talkless menatap ranting-ranting Oak di atasnya. Sinar matahari menghangatkan wajahnya yang tak terlihat.

Lalu dia tiba-tiba berhenti dan jongkok untuk mengambil sesuatu, lalu memasukkannya ke lengan jubahnya dan kembali berjalan lagi sambil melihat ranting. Mata biru safirnya tampak berkilau memantulkan cahaya.

(* * *)

Ariel tampak mondar-mandir di pintu gerbang desanya, tangan kirinya menggenggam sesuatu.

Tampak seorang gadis kecil keluar dari rumah terdekat dari gerbang lalu gadis itu bergegas lari ke arah Ariel. “ Hei Ariel. “ sapanya dari jauh. “ Hai Sonna. “ sapa Ariel juga.

Sonna tampak membawa sepiring kue sus.

“ Kau serius ?” tanya Ariel.

“ Serius. “ jawab Sonna mantap dan berdiri di samping Ariel. Ariel menatap sesuatu di genggamannya dan menutup jarinya kembali.

Sonna menoleh ke tangan Ariel. “ Itu apa ?” tanyanya ingin tahu. “ Ah, bukan apa-apa “ elak Ariel. “ Untuk Talkless ?” tunjuk Sonna pada tangan Ariel dan Ariel pun menggangguk pelan.

(* * *)

Perlahan tapi pasti, gerbang desa dipenuhi dengan anak-anak yang membawa makanan. Mereka percaya jika bisa melihat mata Talkless maka mereka akan mendapatkan keberuntungan. Entah itu benar atau tidak, tradisi memberikan makanan ini sudah ada sejak dulu di desa ini.

“ Ah itu mereka !” teriak seorang anak menunjuk kerudung-kerudung cokelat yang berjalan pelan dari hutan Oak.

Semua anak tampak berbinar. Mereka berusaha mencari kesempatan untuk melihat mata Talkless. Dan cara ini yang paling mudah.

Ketika rombongan Talkless tiba, mereka langsung diserbu pleh anak-anak yang menyodorkan makanannya. Mereka mengambil makanan itu dan memasukkannya ke lengan baju mereka. Sementaru itu Ariel kembali menatap sesuatu di tangannya dan berjalan mendekati seorang Talkless.

Ariel menyodorkan genggamannya dan Talkless itu berhenti. Arah kepalanya terlihat menatap genggaman tangan Ariel. Dan Ariel langsung menyambar tangan kanan Talkless itu dan menyerahkan sesuatu ke tangannya lalu langsung menutup tangan Talkless tersebut.

Talkless itu lalu membuka jarinya, melihat sesuatu yang diberikan Ariel. Wajah Ariel tampak gembira, lalu Talkless itu memegang bahu Ariel.

Perlahan, dari dalam gelap yang menutupi wajahnya, terlihat sepasang mata biru safir yang bulat dan berkilau, menatap lekat mata Ariel. Membuat rona merah di pipi Ariel yang pucat. “ Ah, mata yang sangat indah. .” kata Ariel dalam hati.

Seakan mampu mendengar suara hati Ariel, mata Talkless itu tampak seperti tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Dan Talkless itu melepas tangannya dari bahu Ariel dan bergabung dengan kaumnya, berjalan ke tengah desa. Meninggalkan Ariel dengan rona merah di pipinya.

“ Ariel, kau kenapa ?” tanya Sonna mendekat ke arah Ariel.

Namun Ariel masih bengong dan tersipu.

(* * *)

1 Komentar:

Blogger mely_ya mengatakan...

aq baru baca chapter 1 aja
ceritanya kayaknya lumayan sie, bikin orang jadi kepingin tau, what next.
tapi ada beberapa kalimat yang penggunannya kurang pas.. trus masi ada kalimat yang sama diulang lagi, jadinya monoton. Contohnya: di beberapa tempat, diulang lagi di paragraf bawahnya. kenapa ga, tulis di beberapa t4...terus di t4 lain...
jadinya carilah kata2 lain, biar ga monoton tulisannya

26 Maret 2010 pukul 08.27  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda