Chapter 2
Chapter 2 : Kematian Ariel
Sinar mentari yang hangat seolah membangunkan Ariel. Kehangatan seolah menyelimuti tubuh kecilnya. Perlahan, ia membuka matanya.
Ariel mendapati dirinya terbangun di suatu tempat yang akrab. Sebuah ruangan 5 x 5 bertembok kayu Oak berwarna natural. Sebuah meja berada di sudut kanan ruangan, dekat dengan pintu, dengan buku-buku yang ditumpuk cukup rapi. Dan di sudut kiri ruangan, terdapat sebuah lemari yang cukup besar berwarna cokelat tua, letaknya berlawanan dengan meja.
Sinar mentari menembus jendela di kiri ruangan, tepat di kiri Ariel.
“ Mimpikah ?” tanya Ariel dalam hati, mengusap-usap matanya. Kantuk masih sedikit menggelayut dimatanya.
Ariel menyingkirkan selimut bergambar langit malam dari tubuhnya,lalu bangun dan beranjak menuju jendela. Perlahan, Ariel membuka jendelanya yang terasa hangat lalu memasang penopang jendelanya.
Pemandangan yang cerah, dibandingkan musim dingin kemarin, dan dibandingkan kemarin malam.
Ariel tersentak mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. “ Mimpi atau nyata ?” tanya Ariel dalam hati, keraguan terasa begitu mendominasi dalam hatinya.
Ariel menatap dalam sebuah pohon Oak di depan rumahnya dari jendelanya, membandingkannya dengan apa yang ia lihat, atau setidaknya ia merasa melihatnya kemarin. Pohon itu tampak biasa saja, tidak menyeramkan atau tampak seolah bergerak.
Anak-anak seumuran Ariel terlihat berjalan di kota, umur mereka sekitar 10 tahunan, membawa tas gendong. “ Eh, tas . . ? Sekolah ! “ pekik Ariel dalam hati, bergegas menuju kamar mandi.
(* * *)
Seusai mandi secepat kilat, dia langsung mencari-cari keberadaan seragamnya di lemari dan memakainya setelah menemukannya. Sebuah kemeja putih lengan pendek dipadu dengan celana hitam selutut dengan tali yang membujur dari celana bagian depan ke bagian belakang melewati bahu. Lalu Ariel menyambar tasnya yang berwarna biru cerah, menjejalinya dengan beberapa buku dan langsung berlari ke bawah.
Seperti biasa, tampakJohn dan Matilda sedang di meja makan, menikmati sarapan mereka.
“ Ariel, sarapan. . “ sambut Matilda dengan senyum lembutnya.
Seperti kemarin, dia menyambar sarapannya, kali ini kue sandwich yang tengahnya berisi daging ham. Lalu melambaikan tangan dan pergi keluar dengan sandwich masih di mulutnya. Sempat tersungging senyum manis di bibirnya. Dibalas juga dengan senyum oleh kedua orangtuanya.
(* * *)
Pelajaran pertama, sejarah. Kali itu sebuah kiah epik tentang perang sihir beribu tahun lalu, ketika sihir masih ada dalam diri manusia. Sebuah perang antara bangsa Khiraya, begitu nama bangsa manusia dulu, melawan bangsa kegelapan. Namun Ariel sama sekali tak memperhatikan pelajaran, dia memilih untuk menerawang keluar kendela. Pikirannya entah kemana.
“ Ariel ! “ sebuah suara keras memanggilnya. Suara galak lelaki paruh baya.
“ Aduh, Pak Guru Schuwartz. . Mati aku .“ pekik Ariel dalam hati dan menyeka dahinya yang berkeringat dingin, lalu berpura-pura membaca buku.
“ Buka halaman 64 ! Baca keras-keras agar temanmu bisa mendengar !” teriak Pak Guru Schuwartz.
Ariel langsung membalik-balikkan halaman dan menemukan halaman 64. Isinya tentang perang tersebut. Paragraf pertama menceritakan tentang sebab-sebab itu. Dan Ariel pun mulai membacanya.
“ . . Uggh. . ! “ namun hanya suara hentakan nafas saja yang tedengar dari bibir Ariel, dan ia mencoba membaca lagi, namun tak bisa.
Ariel memegang lehernya dan matanya membelalak karena terkejut. Berarti kejadian kemarin malam adalah nyata, dan suara Ariel menghilang.
Ariel tersentak mengingat kenyataan itu. Dan tangisnya langsung meledak. Air matanya membanjiri deras pipinya.
“ Kenapa Ariel ?” tanya Pak Guru Schuwartz berjalan mendekati Ariel yang menangis tanpa suara. Namun Ariel menyahut hanya dengan gerakan-gerakan tangan yang sama sekali tak bisa dimengerti.
Ariel berusaha sekuat tenaga untuk bersuara, namun yang keluar hanya rintihan parau. “ Talk. . less. .” suaranya begitu parau, tak meyakinkan untuk didengar yang lain.
(* * *)
Pak Guru Schuwartz memutuskan untuk menggendong Ariel pulang. Menurutnya Ariel terkena penyakit serius.
Ariel menangis sepanjang jalan. Ternyata apa yang ia alami kemarin itu nyata. Ia tak ingin menjadi Talkless, tidak sebelum orangtuanya meninggal. Karena ia tak ingin berpisah dari orangtuanya.
Saat lewat di alun-alun desa, segerombolan Talkless tampak duduk disana. Hal itu membangkitkan rasa takut Ariel. Dan ia langsung memeluk erat Pak Guru Schuwartz.
“ Tenanglah Ariel, sedikit lagi sampai. .” ucap Pak Guru Schuwartz pelan.
Sesampainya di rumah, John dan Matilda tampak begitu terkejut melihat Ariel yang datang digendong dan menangis tersedu-sedu tanpa suara.
“ Apa yang terjadi pak ? “ tanya John setelah membantu Pak Guru Schuwartz mendudukkan Ariel di sofa. “ Saya tidak tahu. “ kata Pak Guru Schuwartz dengan penuh cemas. “ Tadi di sekolah ketika saya menyuruhnya membaca, dia seolah kehilangan suaranya dan menangis tersedu-sedu. “ sambungnya.
“ Kehilangan suaranya. “ Kata itu begiru menusuk hati Ariel. Keringat dingin becampur dengan airmata yang menetes. Dan ketakutan berkecamuk di hatinya.
“ Sebaiknya kita segera membawanya ke dokter “ desak Matilda pada John.
Setelah mempersilahkan Pak Schuwartz kembali ke sekolah, John lalu menggendong Ariel ke tempat dokter, ditemani Matilda. Kecemasan tampak jelas di wajah mereka.
(* * *)
Bau obat-obatan herbal begitu pekat tercium di tempat dokter. Satu-satunya dokter yang ada di desa itu.
Setelah mendudukkan Ariel di sebuah kasur khusus pasien, John dan Matilda berbincang dengan dokter di ruangan sebelah.
Rasa takut semakin berkecamuk di dada Ariel mengingat apa yang dilakukan para Talkless padanya kemarin malam. Lalu bagaimana ia bisa pulang ? Ingin rasanya ia menceritakan semua itu pada kedua orangtuanya, tapi apa daya ? Suaranya telah menghilang. Sekalipun suaranya tak menghilang, percayakah orangtuanya ?
Lalu Sang Dokter masuk dan berkata. “ Mari, bisa diperiksa sekarang ?”
Tak perlu menjawab apa-apa, Sang Dokter pasti akan memeriksa Ariel. Jadi Ariel pasrah saja dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sang Dokter mengambil senter kecil dan mengetesnya hidup atau tidak dengan cara menghidupkanya ke arah tembok. Setelah pasti, dia mendekati Ariel dan berkata, “ Buka mulutnya, aah. . . “ katanya sambil membuka mulutnya juga.
Ariel membuka mulutnya dengan ragu. Sang Dokter memegang dagunya dan menyenter bagian dalam mulut Ariel. “ kau tak akan bisa menyembuhkan ini Dok, ini karena sihir ! “ teriak Ariel dalam hati.
“ Hmm. . “ wajah dokter itu tampak mengerti sesuatu setelah menyenter, lalu menyunggingkan sebuah senyum. Tenanglah, sepertinya amandelmu cukup parah, sepertinya perlu dioperasi. Mungkin sebaiknya saya membicarakan ini dingan orangtuamu.
“ Amandel ? “ tanya Ariel dalam hati. “ tidak mungkin ! Ini karena Talkless mengambil suaraku ! “ teriak Ariel dalam hati lagi. Ingin ia menerakkan itu keras-keras, namun ia tak bisa.
Sang Dokter itu langsung keluar, baju putihnya tampak kontras dengan rambutnya yang hitam.
Ariel mendesah dan memperhatikan ruangan itu. Sebuah ruangan yang serba putih. Kursinya, kordennya, bahkan meja juga. Namun untungnya tak sampai semua obat-obatan herbal di lemari putih semua. Jika semua putih, Ariel lebih percaya kalau itu adalah Tipe-Ex ketimbang sebuah obat.
Ariel cekikikan memikirkan pikirannya sendiri. Melihat semua yang serba putih, mengapa Dokter itu tak sekalian mengecat putih rambutnya ?
Daripada mencemaskan hal itu, Ariel punya sesuatu yang harus lebih dicemaskan. Menjadi seorang Talkless, merupakan hal yang tak pernah dibayangkan Ariel sebelumnya. Berkelana dari kota ke kota. Mungkin bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan, mungkin tidak. Jika Ariel benar-benar menjadi seorang Talkless, dia akan menjalani perjalanan sunyi tanpa kata-kata> talkless kan tak bicara ?
“ Tak bicara ? “ tanya Ariel dalam hati. Lalu bagaimana caranya ‘ SI Mata Merah ‘ itu bicara di pikiran Ariel ? Itu masih menjadi sebuah tanda tanya besar di pikiran Ariel.
Lalu Dokter itu kembali masuk dan bertanya. “ Kita mulai operasinya sekarang. “
Percuma saja Ariel menjawab, Ariel tak bisa menjawab. Kalau pun bisa, dokter pun akan tetap mengoperasinya.
(* * *)
Dirumah, Ariel meringkuk di kasurnya dengan lesu, memeluk gulingnya dengan erat. Tak tmapak semangat hidup di matanya, tatapannya kosong. Makanan yang di letakkan ibunya disamping meja tak disentuh sedikitpun.
Awan bergeleyut pelan di siang yang panas, membuat teduh tanah dibawahnya. Deretan kerudung cokelat tampak bersandar di sebuah tembok bata milik sebuah bangungn besar. Awan memeduhkan tempat itu, tampak ganjil. Karena itu hanya satu-satunya awan di siang itu.
Tak ada seorangpun yang mendekati deretan Talkless itu. Seolah ada sihir yang mencegah tiap orang yang ingin mendekati mereka.
Beberapa orang Talkless bangun, sekitar 5 orang. Lalu mereka berjalan ke sebuah lorong gelap yang tak tertembus sinar mentari. Tak ad yang tahu, bahwa mereka menghilang di kegelapan lorong itu. Menghilang secara misterius.
(* * *)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda