Sabtu, 20 November 2010

Cerita Semu Dari Segelas Coke Float

Baiklah, setahun berlalu.
Beranjak dari rumah, kunaiki mobil Taruna hasil tabungan 3 tahunku.
Menuju sebuah restoran cepat saji di daerah pinggiran kota. Lajuku menuju arah matahari terbenam, menyusuri jalan protokol dengan kecepatan sedang, kubuka jendela mobilku dan menikmati polusi kotaku tercinta.
Lampu merah setelah jembatan menghentikan lajuku sejenak. Menerawang dalam senja jingga.
Kurogoh sakuku mencari Nokia 5130ku, memutar sebuah lagu. Homogenic – Kekal.


“It so dark in here
No I can`t see alight”



(* * *)

Kutelusuri by pass lalu aku memasang sein ke kanan, memutar setir dan mencari tempat parkir. Terdiam sejenak dan menatap langit-langit mobil.
Kumatikan handphoneku dan kukunci mobilku, berjalan menuju restoran cepat saji itu.
Sebuah pintu otomatis menyambut langkahku masuk.
Dan utopia itu terkenang lagi.

(* * *)

“Pesan apa pak ?” Tanya seorang pramusaji padaku. “ Coke float dan kentang goreng” jawabku singkat.
“Dibungkus atau makan disini, Pak?” tanyanya lagi. “Disini saja” jawabku singkat.
“Dua puluh lima ribu” lanjut pramusaji itu.
Kurogoh dompetku dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan hasil kerjaku bulan ini.
Tak sampai lima menit pesananku datang. Kuambil tempat duduk nomor dua di deretan dekat jendela.
Kutatap lekat kursi kosong didepanku, lalu kendaraan yang lalu lalang di depan restoran cepat saji ini.
Senyap sekejap.
Ritual “mengheningkan cipta” dimulai.

(* * *)

Kurasa sudah beberapa orang menganggapku aneh. Biarlah.
Kuseruput coke float yang kupesan dan kuambil beberapa batang kentang goreng dan kumakan perlahan.
Ditengah hening ku termenung.
Kutenggelamkan duniaku dalam segelas coke float.

( * * *)

Hari selanjutnya, masih di jalan yang sama. Menuju restoran cepat saji itu lagi.
Segelas coke float lagi, namun kali ini tanpa kentang goreng.
Aku beranjak meninggalkan restoran cepat saji itu, menuju parkiran. Namun tidak ke mobilku, aku hanya berdiri di lantai parkir tertinggi dan berbicara pada angin, tanpa jawaban.
“Hai” sebuah sapa menyadarkanku.
Seorang wanita yang sepertinya sebaya denganku. Rambut lurus kekinian, matanya bulat dengan wajah oval. Bibirnya tipis dengan polesan lipgloss pink. Dengan seragam restoran cepat saji itu.
“Ya ?” jawabku setelah sekian lama membisu.
“Ini hapemu ? “ tanyanya menyodorkan sebuah handphone Nokia 5130 berwarna merah.
Kurogoh tiap sakuku dan aku baru menyadari bahwa handphoneku tak ada.
“Iya, terima kasih. Tadi ketinggalan ya ? “ jawabku dengan sedikit senyum yang tipis.
“Iya..” jawabnya kilas. “Trus lagi ngapain disini ?” tanyanya menatap sekeliling.
“Ah, tidak. Hanya menghitung bintang “ jawabku samar.
“Hah ? Memangnya bisa dihitung ?” tanyanya heran.
Kujawab dengan senyum datar.
Kuambil coke floatku yang kuletakkan di pinggir pembatas tempat parkir dan menyeruputnya. Kembali berbicara pada angin.
“Ohya, namamu siapa ?” tanyanya berusaha mencairkan suasana.
Aku berbalik dan menjawab, “ Lingga”.
“Yoni..” lanjutnya memberikan tangan untuk kujabat.
Kujabat sejenak tangan lembut itu.

(* * *)

Hari ketiga, coke float ketiga. Masih di restoran cepat saji yang sama.
Kutatap seisi restoran itu, tak kudapat bayangnya.
Dan setelah kudapat pesananku, aku pergi melewati pintu otomatis dan melangkah keluar.
Kali ini aku berjalan menuju eskalator dan pergi ke mall yang masih satu gedung dengan restoran cepat saji itu.
Kali ini aku berhenti di sebuah toko roti, dan kupesan sebuah Croissant dan sebuah roti pizza daging.
Setelah itu aku duduk di bangku panjang yang disediakan pihak mall.
Sebuah lagu asing melantun dari speaker mall, lalu kunikmati Croissant dan coke floatku.
Kutatap roti pizza yang kubeli, sebuah simpati terbungkus dalam sekantong plastik pembungkus makanan.
Kuletakkan roti itu begitu saja di bangku. Karena memang aku tak berniat memakannya.
“Ga dimakan rotinya ?” sebuah tanya dari seorang wanita.
Wanita itu lagi.
Mungkin dia memiliki kamera pengawas untuk melihat dan menemukanku.
“Kamu mau ?” tanyaku.
“Boleh..” jawabnya dengan senyum simpul dari bibir tipis – pinknya.
Suatu keadaan memaksaku menghabiskan coke float di bangku ini lagi.
“Ohya Ngga, kenapa kamu sering banget beli coke float ?” tanyanya.
“Tak ada sesuatu yang spesial.” Jawabku tanpa ekspresi.
“Terus ?” sebuah tanya retorik meluncur dari bibirnya. “Kamu suka coke float ?”
“Tidak, aku bahkan tidak terbiasa minum minuman seperti ini “ jawabku. Berharap tak ada tanya lagi yang terlontar.
“Kamu aneh, Ngga “ lanjutnya menatapku.
Kubalas dengan sekilas senyuman datar.

(* * *)

Selanjutnya, aku berlibur dari cerita tentang coke float.
Mengembalikan kesadaranku pada kenyataan.
Bahwa aku masih ada di tempat dimana langit harus dijunjung.
Melupakan sejenak tentang coke float dan antek-anteknya.
Kuambil headset dari laci meja kantorku, kusambungkan ke komputer dan kusetel sebuah lagu dari winampku. Homogenic – Faraway Dreamer.


“ Inculpable angles/glorious dreamer
Mystify my fears of uncertainty
Beauty of the skies
Shaping all my tears of all memories”


(* * *)

Sekian minggu, tanpa coke float.
Entah, kurindukan sejenak utopia yang terbayang.
Di senja jingga ini aku menuju restoran cepat saji itu lagi.
Saat aku melangkah masuk ke restoran itu, seseorang menarik bajuku dari belakang.
“Hai Ngga..”
Wanita itu lagi. Kali ini tanpa seragam restoran cepat saji itu. Namun dengan dress berwarna cerah dengan tas jinjing kulit berwarna hitam.
“Bisa temenin aku ga? Lagi libur nih, ternyata ketemu kamu disini “ lanjutnya dengan nada wanita kekinian.
“Aku beli coke float dulu” jawabku.
“Coke float lagi.. Hihi” tawanya.
Setelah membeli segelas coke float aku pun menemaninya berkeliling.
Dan dia pun mulai bercerita bermacam-macam hal.
Sepertinya dia berbicara dengan bahasa planet mars.
Sama sekali tak bisa kumengerti.

(* * *)

Malam pun semakin larut. Begitupun aku juga terlarut dalam kesenyapan coke float.
Mall akan tutup, jadi kami beranjak ke tempat parkir.
Aku berjalan ke mobilku, entah kenapa dia mengikuti.
Saat ini adalah sebuah momen dimana coke floatku benar-benar habis. Sebelum masuk ke mobil, kubuang dulu gelas kosong coke float itu.
“Ngga..” panggilnya.
“Ya ?” tanyaku datar.
“Aku suka kamu dari saat pertama aku lihat kamu. “ jawabnya.
Aku tak berkata sepatah katapun.
“Kamu gimana, Ngga..? “ lanjutnya.
Kuberikan sekilas senyum datar terakhir padanya. Kubuka pintu mobilku dan aku masuk ke dalamnya.
“Ngga..Lingga ?!” panggilnya dari luar.
Kuambil Nokia 5130ku dan menyetel lagu lagi.
Lagi-lagi dari Homogenic – Serenada (Silent)


“Ironi yang tertuang, bersuara Imajinasiku
Bernaungnya cerita, pada elegiku Serenada
Irama tak bernada, implisitkan suasana Tragedi hidupku..
Puisi yang tak mungkin fiksi, Saat malamku pun, terjaga
Diam Biarkan ku bersuara
NadaTersirat dalam kisah
Diam Biarkan ku bersuara”


Kupacu mobilku keluar dari gedung ini. Lalu mencari keberadaan sebotol air mineral.
Kembali ke diriku yang seharusnya. Lupakan elegi coke float itu.

Senin, 22 Maret 2010

Chapter 2











Chapter 2 : Kematian Ariel

Sinar mentari yang hangat seolah membangunkan Ariel. Kehangatan seolah menyelimuti tubuh kecilnya. Perlahan, ia membuka matanya.

Ariel mendapati dirinya terbangun di suatu tempat yang akrab. Sebuah ruangan 5 x 5 bertembok kayu Oak berwarna natural. Sebuah meja berada di sudut kanan ruangan, dekat dengan pintu, dengan buku-buku yang ditumpuk cukup rapi. Dan di sudut kiri ruangan, terdapat sebuah lemari yang cukup besar berwarna cokelat tua, letaknya berlawanan dengan meja.

Sinar mentari menembus jendela di kiri ruangan, tepat di kiri Ariel.

“ Mimpikah ?” tanya Ariel dalam hati, mengusap-usap matanya. Kantuk masih sedikit menggelayut dimatanya.

Ariel menyingkirkan selimut bergambar langit malam dari tubuhnya,lalu bangun dan beranjak menuju jendela. Perlahan, Ariel membuka jendelanya yang terasa hangat lalu memasang penopang jendelanya.

Pemandangan yang cerah, dibandingkan musim dingin kemarin, dan dibandingkan kemarin malam.

Ariel tersentak mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. “ Mimpi atau nyata ?” tanya Ariel dalam hati, keraguan terasa begitu mendominasi dalam hatinya.

Ariel menatap dalam sebuah pohon Oak di depan rumahnya dari jendelanya, membandingkannya dengan apa yang ia lihat, atau setidaknya ia merasa melihatnya kemarin. Pohon itu tampak biasa saja, tidak menyeramkan atau tampak seolah bergerak.

Anak-anak seumuran Ariel terlihat berjalan di kota, umur mereka sekitar 10 tahunan, membawa tas gendong. “ Eh, tas . . ? Sekolah ! “ pekik Ariel dalam hati, bergegas menuju kamar mandi.

(* * *)

Seusai mandi secepat kilat, dia langsung mencari-cari keberadaan seragamnya di lemari dan memakainya setelah menemukannya. Sebuah kemeja putih lengan pendek dipadu dengan celana hitam selutut dengan tali yang membujur dari celana bagian depan ke bagian belakang melewati bahu. Lalu Ariel menyambar tasnya yang berwarna biru cerah, menjejalinya dengan beberapa buku dan langsung berlari ke bawah.

Seperti biasa, tampakJohn dan Matilda sedang di meja makan, menikmati sarapan mereka.

“ Ariel, sarapan. . “ sambut Matilda dengan senyum lembutnya.

Seperti kemarin, dia menyambar sarapannya, kali ini kue sandwich yang tengahnya berisi daging ham. Lalu melambaikan tangan dan pergi keluar dengan sandwich masih di mulutnya. Sempat tersungging senyum manis di bibirnya. Dibalas juga dengan senyum oleh kedua orangtuanya.

(* * *)

Pelajaran pertama, sejarah. Kali itu sebuah kiah epik tentang perang sihir beribu tahun lalu, ketika sihir masih ada dalam diri manusia. Sebuah perang antara bangsa Khiraya, begitu nama bangsa manusia dulu, melawan bangsa kegelapan. Namun Ariel sama sekali tak memperhatikan pelajaran, dia memilih untuk menerawang keluar kendela. Pikirannya entah kemana.

“ Ariel ! “ sebuah suara keras memanggilnya. Suara galak lelaki paruh baya.

“ Aduh, Pak Guru Schuwartz. . Mati aku .“ pekik Ariel dalam hati dan menyeka dahinya yang berkeringat dingin, lalu berpura-pura membaca buku.

“ Buka halaman 64 ! Baca keras-keras agar temanmu bisa mendengar !” teriak Pak Guru Schuwartz.

Ariel langsung membalik-balikkan halaman dan menemukan halaman 64. Isinya tentang perang tersebut. Paragraf pertama menceritakan tentang sebab-sebab itu. Dan Ariel pun mulai membacanya.

“ . . Uggh. . ! “ namun hanya suara hentakan nafas saja yang tedengar dari bibir Ariel, dan ia mencoba membaca lagi, namun tak bisa.

Ariel memegang lehernya dan matanya membelalak karena terkejut. Berarti kejadian kemarin malam adalah nyata, dan suara Ariel menghilang.

Ariel tersentak mengingat kenyataan itu. Dan tangisnya langsung meledak. Air matanya membanjiri deras pipinya.

“ Kenapa Ariel ?” tanya Pak Guru Schuwartz berjalan mendekati Ariel yang menangis tanpa suara. Namun Ariel menyahut hanya dengan gerakan-gerakan tangan yang sama sekali tak bisa dimengerti.

Ariel berusaha sekuat tenaga untuk bersuara, namun yang keluar hanya rintihan parau. “ Talk. . less. .” suaranya begitu parau, tak meyakinkan untuk didengar yang lain.

(* * *)

Pak Guru Schuwartz memutuskan untuk menggendong Ariel pulang. Menurutnya Ariel terkena penyakit serius.

Ariel menangis sepanjang jalan. Ternyata apa yang ia alami kemarin itu nyata. Ia tak ingin menjadi Talkless, tidak sebelum orangtuanya meninggal. Karena ia tak ingin berpisah dari orangtuanya.

Saat lewat di alun-alun desa, segerombolan Talkless tampak duduk disana. Hal itu membangkitkan rasa takut Ariel. Dan ia langsung memeluk erat Pak Guru Schuwartz.

“ Tenanglah Ariel, sedikit lagi sampai. .” ucap Pak Guru Schuwartz pelan.

Sesampainya di rumah, John dan Matilda tampak begitu terkejut melihat Ariel yang datang digendong dan menangis tersedu-sedu tanpa suara.

“ Apa yang terjadi pak ? “ tanya John setelah membantu Pak Guru Schuwartz mendudukkan Ariel di sofa. “ Saya tidak tahu. “ kata Pak Guru Schuwartz dengan penuh cemas. “ Tadi di sekolah ketika saya menyuruhnya membaca, dia seolah kehilangan suaranya dan menangis tersedu-sedu. “ sambungnya.

“ Kehilangan suaranya. “ Kata itu begiru menusuk hati Ariel. Keringat dingin becampur dengan airmata yang menetes. Dan ketakutan berkecamuk di hatinya.

“ Sebaiknya kita segera membawanya ke dokter “ desak Matilda pada John.

Setelah mempersilahkan Pak Schuwartz kembali ke sekolah, John lalu menggendong Ariel ke tempat dokter, ditemani Matilda. Kecemasan tampak jelas di wajah mereka.

(* * *)

Bau obat-obatan herbal begitu pekat tercium di tempat dokter. Satu-satunya dokter yang ada di desa itu.

Setelah mendudukkan Ariel di sebuah kasur khusus pasien, John dan Matilda berbincang dengan dokter di ruangan sebelah.

Rasa takut semakin berkecamuk di dada Ariel mengingat apa yang dilakukan para Talkless padanya kemarin malam. Lalu bagaimana ia bisa pulang ? Ingin rasanya ia menceritakan semua itu pada kedua orangtuanya, tapi apa daya ? Suaranya telah menghilang. Sekalipun suaranya tak menghilang, percayakah orangtuanya ?

Lalu Sang Dokter masuk dan berkata. “ Mari, bisa diperiksa sekarang ?”

Tak perlu menjawab apa-apa, Sang Dokter pasti akan memeriksa Ariel. Jadi Ariel pasrah saja dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sang Dokter mengambil senter kecil dan mengetesnya hidup atau tidak dengan cara menghidupkanya ke arah tembok. Setelah pasti, dia mendekati Ariel dan berkata, “ Buka mulutnya, aah. . . “ katanya sambil membuka mulutnya juga.

Ariel membuka mulutnya dengan ragu. Sang Dokter memegang dagunya dan menyenter bagian dalam mulut Ariel. “ kau tak akan bisa menyembuhkan ini Dok, ini karena sihir ! “ teriak Ariel dalam hati.

“ Hmm. . “ wajah dokter itu tampak mengerti sesuatu setelah menyenter, lalu menyunggingkan sebuah senyum. Tenanglah, sepertinya amandelmu cukup parah, sepertinya perlu dioperasi. Mungkin sebaiknya saya membicarakan ini dingan orangtuamu.

“ Amandel ? “ tanya Ariel dalam hati. “ tidak mungkin ! Ini karena Talkless mengambil suaraku ! “ teriak Ariel dalam hati lagi. Ingin ia menerakkan itu keras-keras, namun ia tak bisa.

Sang Dokter itu langsung keluar, baju putihnya tampak kontras dengan rambutnya yang hitam.

Ariel mendesah dan memperhatikan ruangan itu. Sebuah ruangan yang serba putih. Kursinya, kordennya, bahkan meja juga. Namun untungnya tak sampai semua obat-obatan herbal di lemari putih semua. Jika semua putih, Ariel lebih percaya kalau itu adalah Tipe-Ex ketimbang sebuah obat.

Ariel cekikikan memikirkan pikirannya sendiri. Melihat semua yang serba putih, mengapa Dokter itu tak sekalian mengecat putih rambutnya ?

Daripada mencemaskan hal itu, Ariel punya sesuatu yang harus lebih dicemaskan. Menjadi seorang Talkless, merupakan hal yang tak pernah dibayangkan Ariel sebelumnya. Berkelana dari kota ke kota. Mungkin bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan, mungkin tidak. Jika Ariel benar-benar menjadi seorang Talkless, dia akan menjalani perjalanan sunyi tanpa kata-kata> talkless kan tak bicara ?

“ Tak bicara ? “ tanya Ariel dalam hati. Lalu bagaimana caranya ‘ SI Mata Merah ‘ itu bicara di pikiran Ariel ? Itu masih menjadi sebuah tanda tanya besar di pikiran Ariel.

Lalu Dokter itu kembali masuk dan bertanya. “ Kita mulai operasinya sekarang. “

Percuma saja Ariel menjawab, Ariel tak bisa menjawab. Kalau pun bisa, dokter pun akan tetap mengoperasinya.

(* * *)

Dirumah, Ariel meringkuk di kasurnya dengan lesu, memeluk gulingnya dengan erat. Tak tmapak semangat hidup di matanya, tatapannya kosong. Makanan yang di letakkan ibunya disamping meja tak disentuh sedikitpun.

Awan bergeleyut pelan di siang yang panas, membuat teduh tanah dibawahnya. Deretan kerudung cokelat tampak bersandar di sebuah tembok bata milik sebuah bangungn besar. Awan memeduhkan tempat itu, tampak ganjil. Karena itu hanya satu-satunya awan di siang itu.

Tak ada seorangpun yang mendekati deretan Talkless itu. Seolah ada sihir yang mencegah tiap orang yang ingin mendekati mereka.

Beberapa orang Talkless bangun, sekitar 5 orang. Lalu mereka berjalan ke sebuah lorong gelap yang tak tertembus sinar mentari. Tak ad yang tahu, bahwa mereka menghilang di kegelapan lorong itu. Menghilang secara misterius.

(* * *)

Love, Time and Death

Love, Time and Death



Hari ini, aku bermimpi. Mimpi di sebuah peternakan di pinggiran desa. Aku melihat mentari cerah menerangi, lalu padang rumput yang luas diterpa angin lembut. Setelah itu, aku mendengar suara lelaku tua memanggilku, tapi bukan memanggil namaku. Entah, aku tak mendengarnya jelas. Lalu aku menoleh kearah suara itu.

Aku terbangun di kamarku pagi hari. Matahari menembus jendela kamarku. Aku luangkan waktu sejenak untuk merenungkan mimpi tadi. Ah, aku tak mengerti. Jadi aku segera bangun dan berangkat sekolah.

Kuperkenalkan diriku, aku Arthe, 14 tahun. Entah kenapa sejak dulu aku selalu merasa ada yang kurang pada diriku, entah itu apa, tapi rasanya selalu ada yang kurang di hidupku. Padahal aku berasal dari keluarga terpandang, punya teman-teman dan keluarga yang baik, aku cukup pintar bahkan bisa dibilang aku ini tampan (menurutku) tapi tetap saja aku merasa ada yang kurang di hidupku, entah apa itu.

Di kelas, aku jalani pelajaran seperti biasanya. Namun tiba-tiba semua orang gerakannya menjadi lambat lalu setelah itu waktu menjadi terhenti. Dari langit-langit muncullah sebuah lorong hitam dan dari sana jatuh seorang wanita berumur sekitar duapuluhan, berambut hitam panjang dengan wajah yang pucat seperti mayat, serta pakaiannya yang serba hitam. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari. Aku merasa takut sekali hingga aku tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba ia mencekikku dan berkata “ Kembalikan hatiku “. Aku tak mengerti apa yang ia maksud. Lalu ia menyentuhkan tangan kanannya ke dadaku dan merobeknya, terasa sangat sakit! Tapi aku tidak bisa bergerak sedikitpun. Setelah itu ia menusukkan tangannya hingga menembus dadaku.

“ Arthe, bangun !”, terdengar suara orang berteriak di dekat telingaku. Aku membuka mataku, ternyata aku tertidur di kelas. Pak guru membangunkanku dan memarahiku, setelah itu menyuruhku berdiri di depan kelas. Namun dalam hati ku bertanya, apa maksud wanita itu tadi. Apa yang ia maksud dengan ‘hatinya’? Dan semua itu menjadi sebuah tanda tanya besar di benakku.

Hari ini, aku bermimpi lagi. Mimpi yang sama di sebuah peternakan. Danlagi, ku dengar ada suara pria tua yang memanggilku samar-samar, tapi aku tidak tahu siapa yang dipanggilnya, aku menoleh lalu berlari ke arahnya, dia menyambutku dengan kedua tangannya, namun wajahnya terlihast seperti mozaik samar. Aku lalu memeluknya dan ia mengangkatku tinggi, terasa sangat menyenangkan. Suara canda tawa, lalu wajah-wajah samar lainnya yang mulai ku lihat. Dan aku bertanya, “ Ini ingatan siapa? “.

Dan akhirnya aku terbangun di kamarku lagi. Aku semakin tak mengerti. Tiba-tiba ibu mengetuk pintu kamarku dan memberiku sebuah surat. “ Surat ? “, tanyaku pada ibu. Ibu hanya mengangkat bahunya. Lalu aku mengamati surat itu, tidak satu identitas pun tertulis di amplopnya, putih mulus. Lalu aku membukanya dan mendapatkan sebuah surat yang dituliskan di sebuah kertas lusuh.





24 September 1909


Untuk diriku,

Seperti yang sudah direncanakan, aku mengirim surat padamu. Hari ini, Jumat, 24 September 1909. hari kebangkitanku. Aku menulisnya agar kau bisa mengembalikan kepingan hatiku yang ku tinggal. Mungkin ini berat bagimu tapi aku harus mencar sesuatu di masamu. Jadi kumohon relakan hatimu karena hatimu adalah kepingan dari hatiku.

Salam,











“ Apa maksudnya ini ?”, tanyaku dalam hati. 1909 itu kan 100 tahun lalu ? Tak mungkin ada surat bertanggalkan 100 tahun lalu. Bahkan surat ini ditulis oleh ‘diriku’ ? Lalu tak tercantum nama, hanya dibubuhi tanda tangan. Mungkin pekerjaan orang iseng ? Tapi ia membicarakan ‘hati’ miliknya. Wanita itu kah ? Bagaimana mungkin ?

Lalu aku bangun dari duduk dan melempar surat itu ke kasur dan berjalan menuju kamar mandi, kurasa pikiranku perlu disegarkan. Namun begitu kubuka pintu kamar mandi wanita itu telah ada di depan pintu dan langsung menyentuh dahiku. Kurasa aku seperti tersedot ke tempat lain.

( * * * )

Di suatu malam, di depan pintu sebuah kastil banyak orang berkumpul dan berusaha mendobrak gerbang kastil tersebut, mereka membawa obor, pisau dan berbagai macam senjata lainnya, dan mereka berteriak, “ Bunuh penyihir !”

Sementara di dalam kastil, Sang Penyihir wanita memandang kerumunan orang-orang itu dengan tenang dari jendela. Rambut hitam panjangnya berkibar ditiup angin malam.
“ Cyril, kau tidak apa-apa ? “, tanya seorang pria sebaya dengan Cyril, penyihir tersebut.
“ Tidak apa-apa, aku sudah tahu ini akan terjadi, Bryan “, jawab Cyril memegang bahu Bryan.
“ Maafkan aku, karena aku, kau seperti ini… “, kata Bryan tertunduk.
“Bukan salahmu, andai saja aku bukan penyihir, kita pasti bisa hidup bersama. Namun ada yang mengungkap identitasku “, jawab Cyril. “ Mereka semua akan masuk ke kastil ini dan membunuhku. Aku tahu hal ini akan terjadi sejak pertama aku bertemu denganmu. Seharusnya aku bisa mengubah semuanya dengan menghindarimu, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku “ lanjut Cyril sambil memeluk erat Bryan.
“ Tunggu “, kata Bryan melepas pelukan Cyril. “ Jika aku bisa menjelaskan ini semua pada orang-orang, mereka pasti akan mengerti.”
“ Tidak “, elak Cryil. “ Mereka terlanjur menganggap semua penyihir itu jahat “, lanjut Cyril dengan tatapan menerawang.
Sementara itu, orang-orang di luar berhasil mendobrak pintu kastil dan masuk.
“ Lalu, kita harus bagaimana sekarang ?”, tanya Bryan. “ Aku tidak ingin melihatmu mati “.
“ Kita masih punya jalan, Bryan “, jawab Cyril memeluk Bryan dan mencium bibirnya.
“ Bukankah kita tidak punya waktu untuk ini ?”
“ Itu kecupan perpisahan dariku, semoga kita bisa bertemu lagi “ jawab Cyril gemetar dan mulai meneteskan air mata.
“ Maksudmu Cyril ?”, tanya Bryan tak mengerti, namun bersamaan dengan itu tubuhnya memudar. “ Ah ! Apa yang terjadi ? Apa yang kau lakukan padaku Cyril ?”
“ Dengan segenap kekuatanku, aku mengirimmu ke masa depan, di masa dimana kita bisa hidup bersama. Aku tidak tahu entah kapan masa itu…hik..hik..“, jawab Cyril terisak.
“ Apa !? “, Bryan terkejut. “ Ta..tapi…”
Kata-kata Bryan terputus saat Cryil memeluk tubuhnya yang memudar. Dan Bryan membalasnya dengan pelukan yang erat karena takut tidak bisa bertemu Cyril lagi.
“ Hik..hik..Ber..berjanjilah padaku Bryan. Sampai kapanpun kau harus menunggu kedatanganku….”, isak Cyril di dada Bryan.
“Aku berjanji padamu, Cyril….”, kata terakhir Bryan saat tubuhnya benar-benar menghilang dari pandangan Cyril.
Cyril mengusap air matanya yang menetes dengan tangannya, namun tiba-tiba orang-orang telah mendobrak pintu kamar Cyril dan mendapatinya berdiri sendiri.
“ Kau kemanakan Bryan ?” tanya seorang warga dengan marah.
“ Aku telah membunuhnya “, jawab Cyril dengan wajah dingin.

Mendengar hal itu, orang-orang sangat marah dan memutuskan untuk membunuh Cyril saat itu juga. Dia dipukul dan ditusuk hingga tubuhnya penuh luka dan tidak bisa dikenali lagi, namun ia belum mati. Setelah itu, ia diikat di sebuah salib dan diarak menuju tengah desa. Disana telah dinyalakan api yang besar. Tubuh Cyril dilempar dan terbakar dalam kobaran api. Namun sesaat sebelum dia mati, ia mengirimkan kepingan hatinya ke masa depan. Agar ia bisa ke masa itu dan mencari Bryan.
Akhirnya jiwa Cyril membumbung seiring asap kobaran api yang pengap menuju langit malam yang sendu.

( * * * )

Setelah kilasan ingatan tadi tanpa sadar aku menangis. Akhirnya aku tahu bahwa aku adalah kepingan hati Cyril. Lalu mimpi-mimpi itu adalah kehidupan kepingan hati Cyril di masa sebelum diriku. 1904, kepingan hati Cyril ada pada seorang gadis di sebuah peternakan. Hampir 98 tahun ia mencari Bryan, namun ia tidak menemukannya sehingga ia harus pergi karena ‘waktu hati’nya telah habis, dan ia harus mengirimkannya lagi. Dan ia juga menyertakan surat yang dikirim beserta hatinya. Begitu terus hingga hatinya habis terbagi jika ia tidak menemukan Bryan.
Pencarian Cyril belum selesai. Kepingan hatinya ada padaku, jadi aku harus mengembalikannya.

Cyril tersenyum, namun tiba-tiba ia menusuk dadaku. Sangat sakit ! Tapi aku tidak bisa bergerak sama sekali. Darah terciprat keluar membasahi lantai.
Saat ia menarik tangannya, terlihat ia memegang sebuah bulatan cahaya kecil berwarna merah. Bulatan cahaya kecil itu lalu ia sentuhkan ke dadanya. Wajahnya yang pucat kembali hidup. Bersamaan denan itu, rasa sakit di tubuhku hilang dan tubuhku pupus menjadi pendar cahaya kecil perlahan.

“ Terima kasih…”, ucap Cyril untuk terakhir kalinya padaku sebelum aku menghilang ditiup angin.

Cerita ini baru dimulai. Ini adalah sebuah permulaan dari akhir yang ditentukan. Apakah waktu yang telah mempermainkan Cyril atau ia yang bermain-main dengan waktu ? Namun cinta sejati tak akan terhalang oleh waktu dan kematian.


~END~

Jumat, 19 Maret 2010

Lanjutan chapter 1

Malam harinya, suatu kejadian terjadi. Kejadian yang akan merubah hidup Ariel untuk selamanya.

Seusai makan malam, Ariel belajar di kamarnya, sedangkan ayah ibunya berbincang-bincang di dekat perapian.

“ Ariel.. Ayah dan Ibu tidur duluan ya..” teriak John dari bawah. “ Hah ?” tanya Ariel heran dengan suara setengah berbisik, lalu melirik jam kecil di sudut meja. Jam kecil berbentuk kotak berwarna pink yang manis. Jarumnya masih menunjukkan pukul 20.00

Mata Ariel menyudut ke atas, berusaha mengingat-ingat hari kemarin. “ Rasanya mereka tidak pernah tidur secepat ini.. Kenapa sekarang tidur cepat ya ?” tanya Ariel sambil menggosok dagunya dengan telunjuk dan ibu jarinya seolah mengelus jenggot.

Waktu berjalan cepat hingga menunjukkan pukul 22.00 . Biasanya Ariel sudah tidur saat ini, namun entah kenapa matanya tak merasakan kantuk sedikitpun.

Ariel merasa bosan berguling-guling di tempat tidur terus. Akhirnya dia memutuskan sesuatu. Sesuatu yang akan merubah hidupnya.

(* * *)

“ Krieet..” suara pintu yang dibuka oleh Ariel dari dalam.

Ariel mengeluarkan kepalanya keluar pintu, lalu melihat kiri dan kanan. Memastikan ayah dan ibunya takkan tterbangun.

Setelah memastikan keadaan aman, Ariel mulai melangkahkan kakinya keluar pintu lalu menutupnya kembali, lalu menuruni tangga dengan mengendap-endap.

Ruang keluarga tampak gelap gulita, perapian di depan telah dipadamkan. Sofa-sofa tampak seperti batu-batu besar di kegelapan yang pekat. Ariel berjalan pelan, memastikan dirinya tak menabrak apapun.

Dan akhirnya Ariel sampai di depan pintu. Pintu kayu berwarna merah dengan kenop pintu berwarna perak. Pintu itu terasa lebih besar ketika malam, dan lebih dingin. Ini pertama kalinya Ariel memperhatikan pintu yang ia lewati tiap hari.

Perlahan Ariel memutar kenop pintu yang terasa dingin, seolah mencegahnya keluar. Jantung Ariel berdegup kencang, penasaran dengan apa yang akan ia lihat.

Ariel lalu mendorong pintu itu agar terbuka, dan Ariel mulai melangkahkan kaki kecilnya ke tanah desa yang dingin. Angin berhembus cukup kencang untuk membuat Ariel yang hanya berpiyama menggigil.

Ariel lalu menutup pintu rumahnya dan menatap sekeliling. Seisi desa terasa sepi, berbeda dengan siang hari. Tanah masih teras dingin karena salju yang mencair tadi siang. Rumah-rumah tampak seperti bayangan hitam besar karena semua lampu padam. Angin yang berhembus membuat sebuah pohon Oak bergelayut dan tampak bergerak.

Ariel membungkus tubuhnya dengan tangan agar angin tak terlalu membuatnya kedingingan. Sudah terlambat bagi Ariel untuk mengambil jaket. Dia sudah terlanjur keluar.

Hatinya membuat kakinya melangkah bebas di tengah desa yang seolah mati. Matanya tampak berkilau seiring bintang yang terpantul di matanya yang hitam. Rambut merahnya seperti api yang berkobar saat ia melangkah cepat.

Hatinya membawanya berhenti di depan sekolahnya yang tampak mengerikan di malam hari. Pohon-pohon ceri di kiri halaman tampak berayun-ayun ditiup angin. Papan nama berderit liar. Ayunan di kanan halaman tampak seperti ada yang memainkan. Jendela-jendela tampak hitam pekat. Tembok yang biasanya berwarna-warni bergambar bunga-bunga kini tak tampak. Begitu gelap untuk melihat apa yang ada disana.

Jantung Ariel berdegup semakin liar. Wajahnya menyeringai senang seakan itulah dunianya. Dan hatinya membawanya melangkah lagi.

Tergoda dengan kegelapan yang lebih pekat, Ariel berjalan cepat menuju bukit di utara yang ada hutannya. Tangan mungilnya masih membungkus tubuhnya.

(* * *)

Pohon-pohon Pinus tampak seperti gembira menyambut kedatangan Ariel. Semua bergelayut searah tiupan angin. Menggoda Ariel untuk melangkah lebih jauh melewati pohon demi pohon.

Tanah masih terasa dingin, tak seperti hati Ariel yang berkobar saat itu. Entah apa yang akan ia temukan di puncak bukit. Namun Ariel tetap berjalan.

Sampai akhirnya dia berhenti. Ekspresinya tampak seperti terkejut bercampur takjub. Sebuah sinar biru terlihat menyala terang di depannya.

Ariel lalu mangambil langkah dan bersembunyi di balik pohon, mengintip apa yang terjadi di tanah berumput di puncak bukit.

Kaum Talkless membuat sebuah lingkaran yang besar disana, mereka saling berpegangan tangan dan dari tangan mereka sesekali terpercik sekilatan cahaya biru terang.

Angin mulai berhembus kencang dari belakang Ariel. Dan Ariel terpana saat menyadari pohon-pohon Pinus melengkung kearah lingkaran Talkless. Lingkaran Talkless seolah menyedot pohon-pohon Pinus tersebut.

Namun yang terdengar hanyalah suara angin dan suara daun pohon Pinus yang saling bergesekan. Dan kilatan cahaya di tangan para Talkless semakin terang. Lalu cahaya itu merambat dari tangan mereka lalu naik ke lengan bajumereka, membuat jubah mereka yang berwarna cokelat menjadi biru terang. Jubah mereka berkibar keras dan cahaya biru itu merambat ke sekujur pakaian mereka.

Lalu cahaya biru itu seolah meledak dari tiap-tiap Talkless.

Angin yang awalnya berhembus menuju Talkless kini berbalik secara tiba-tiba, menjauhi lingkaran Talkless. Diikuti cahaya biru yang seolah menyapu tiap benda yang dilewatinya, termasuk Ariel.

Ariel langsung berlari, menjauhi cahaya itu. Wajahnya terlihat pucat, keringat dingin menetes dari tiap inci wajahnya. Entah kenapa ia merasa takut dengan cahaya itu.

Namun sebuah akar yang menyembul dari tanah membuat Ariel tersandung dan jatuh. Ariel berbalik dan menatap cahaya itu mendekati dirinya.

Ariel melindungi dirinya dengan tangan mungilnya. Namun itu tak mengalahkan cahaya yang menyapunya.

“ Aaah.. !” pekik Ariel memejamkan matanya.

(* * *)

Ariel membuka matanya, semua tampak normal. Lalu ia melihat tubuhnya, namun tak ada yang berubah. Ariel pun menarik nafas lega. Lalu ia bangun dan berjalan lagi kearah Talkless.

Ariel kembali mengintip dan ingin tahu apa yang akan dilakukan Talkless. Namun Ariel sangat terkejut ketika melihat semua Talkless menoleh ke arahnya. Wajah-wajah mereka yang tertutupi kerudung terasa mencekam.

Ariel merasa lebih takut daripada tadi, lebih takut daripada sebelumnya, dan lebih takut dari semua hal yang ia takuti. Ini adalah saat dimana ia merasa paling takut seumur hidupnya. Badannya kaku, keringat dingin mengucur deras. Ada perasaan ingin lari di hatinya, namun kakinya seolah membeku, tak bisa digerakkan. Ingin ia berteriak, namun seolah ada tangan yang mencekik lehernya, membuatnya susah bernafas.

Tiba-tiba sesuatu merasuki pikirannya, sebuah siluet sepasang mata merah yang menyala terang dan kelihatan marah.

“ Si.. Siapa kau ?” tanya Ariel.

Tiba-tiba sebuah suara terdengar, bukan terdengar di telinga Ariel,menandakan bahwa suara itu tak berasal dari luar. Namun suara itu seakan berasal dari dalam diri Ariel.

“ Tak penting siapa aku, tapi kau ! kau telah melihat apa yang seharusnya tak kau lihat ! “ suara itu terdengar seperti seorang laki-laki yang sedang marah. Suaranya menggelegar di pikiran Ariel, membuat kepalanya sakit.

Sambil memegang kepalanya, Ariel bertanya, “ Aku sudah melihat apa ? “

Suara itu kembali menggelegar, seperti petir yang menyambar. “ Kau tak perlu tahu ! Namun kau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah kau lihat. Kau harus menjadi bagian dari kami, para Talkless. Dan suaramu akan menghilang seiring waktu. “

“Tidaaaak..! Tidak mungkin…! “ elak Ariel.

“ Suaramu akan kami ambil. “ kata suara itu lagi.

“ Tidaaaaaak…..” teriak Ariel. Namun entah kenapa tenaga di tiap otonya seolah menghilang, matanya terasa berat, dan mata merah itu terbayang seperti sebuah api yang membara. Kesadaran Ariel pun menghilang, semua tampak kabur dan menghilang.

(* * *)

Chapter 1 : Kedatangan Mereka

~FIN

Label:

Rabu, 10 Maret 2010

The Talkless







The Talkless

Chapter 1 : Kedatangan Mereka

Talkless. Begitulah Mereka disebut. Mereka tak pernah terlihat bicara, mungkin bisu. Dan pakaian mereka semua sama. Jubah cokelat berkerudung menutupi seluruh tubuh mereka. Bahkan, tak ada yang tahu bagaimana wajah mereka.

Mereka berkelana ke setiap kota, tiap desa, tiap tempat yang ditinggali manusia. Mereka biasanya menetap beberapa hari di satu tempat, lalu pergi lagi. Entah apa yang mereka lakukan, namun yang terlihat mereka hanya duduk atau berjalan di sekitar kota. Jika malam, mereka mendirikan tenda di lapangan kota atau tempat yang luas agar tidak mengganggu penduduk setempat.

Di beberapa tempat, kaum Talkless dijadikan pengukur musim secara tak langsung. Di beberapa tempat, mereka biasa dating di akhir musim dingin, menandakan datangnya musim semi. Atau mungkin sebaliknya.

Di beberapa tempat, ada yang menyambut kedatangan mereka dengan pesta besar-besaran. Begitu banyak makanan dan minuman yang diberikan pada mereka. Mereka dianggap dewa disana.

Begitu pula sebaliknya, di beberapa tempat orang-orang menjauhi mereka. Para penduduk menutup pintu dan jendela mereka saat datangnya Kaum Talkless.

Namun di balik jubah mereka, tersimpan begitu banyak rahasia.

Ya, ini adalah cerita tentang mereka. The Talkless

(* * *)

Di sebuah rumah yang ada di sebuah desa yang ada di belahan bumi utara. Seorang wanita berjalan menaiki tangga rumahnya menuju sebuah kamar disana. Di kamar itu, seorang bocah kecil berumur sekitar 10 tahun masih meringkuk menikmati alam mimpinya di tengah dinginnya pagi bersalju. Bocah itu berambut merah, senada dengan wanita itu. Dan bentuk wajahnya tak berbeda jauh dengan wanita itu. Lalu wanita itu duduk di kasur dan membangunkan bocah kecil itu.

“Ariel, bangun..”

Perlahan, Ariel membuka matanya dan menguceknya perlahan. “ Ada apa Bu ?” tanyanya.

“ Mereka datang .” kata ibu Ariel dengan penuh senyum. “ Mereka. . Siapa ?” Tanya Ariel bengun dari tempat tidurnya dan duduk disamping ibunya. “ Kaum Talkless, apa kau lupa ? “ kata ibunya mengusap-usap rambut merah Ariel yang berantakan.

Ariel tersentak dan langsung melompat dari duduknya, namun saat akan berjalan, tangannya dipegang ibunya.

“ Hei. . “ kata ibu Ariel sambil menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan kiri. “ Rapikan dulu tempat tidurmu, mandi, baru boleh pergi. “ kata ibu Ariel bangun dari duduknya dan berjalan keluar kamar.

“ Iya Bu. .” keluh Ariel sambil merapikan tempat tidurnya.

(* * *)

Salju masih menumpuk di jendela Ariel. Dia lalu membuka jendelanya seusai membersihkan kamr dan mandi. Gumpalan-gumpalan salju jatuh dari jendelanya yang dibuka. Ariel lalu memasang penopang jendela dan melihat suasana diluar.

Matahari bersinar hangat. Di jalanan tampak beberapa anak berjalan dengan mantel musim dinginnya, beberapa lainnya sedang bermain bola salju. Dan orang-orang dewasa sedang membersihkan salju dari atap dan halaman rumah mereka.

Ariel tersenyum senang, lalu bergegas menyambar jaketnya yang tergantung di tembok, memakainya lalu keluar kamar.

“ Ariel, sarapan !” teriak ibunya dari ruang makan saat Ariel menuruni tangga.

Ariel berlari ke ruang makan, menyambar kue panekuk buatan ibunya dan berlari keluar. “ Aku pergi dulu Bu. . Yah. .” kata Ariel sambil melambaikan tangan kanannya dan melahap kue dengan tangan kirinya.

“ Dia pergi kemana ?” Tanya ayah Ariel yang duduk di meja makan. “ Kau lupa ? ini akhir musim dingin kan ?” Tanya ibu Ariel sambil berjalan membawa sepiring kue panekuk ke meja. “Ngg. . Kaum Talkless ?” Tanya ayah Ariel dengan wajah sedikit mengernyit. “ Iya John. “ kata ibu Ariel meletakkan sepiring panekuk di depan suaminya dan bersandar ke meja.

“ Kau ingat ? Waktu kecil kita senang sekali ketika Kaum Talkless datang. .” kata John melahap panekuknya. “ Iya, waktu itu kita sama seperti Ariel sekarang. Begitu girang saat mereka datang. Aku dulu bahkan sampai menyelinap keluar jendela ketika ibuku tak mengizinkanku keluar. Hahaha. “ tawa ibu Ariel. “itu semua hanya untuk melihat mata Kaum Talkless, banyak yang bilang kalau bisa melihat mata mereka maka akan dapat keberuntungan. Tapi sampai sekarang aku bahkan tak pernah melihat wajah mereka. “ lanjutnya sambil menggulung rambut keriting merahnya dengan telunjuk.

“ Matilda, itulah yang membuat rambutmu keriting. “ komentar John menunuk rambut Matilda. “ Eh ! Aku tak sadar . “ katanya spontan melepas telunjuknya.

“ Ehm. . Matilda, tambah lagi. .” kata John menyodorkan piringnya dengan sedikit malu-malu.

Matilda menggaruk kepalanya. “ John, itulah yang membuatmu gemuk. “ tunjuk Matilda pada piring John, membalas perkataannya tadi. “ Hah, apa ?” tanya John heran. “ Kau tak sadar menghabiskan berapa piring kue pagi ini ?” tanya Matilda. Namun John hanya menggeleng dengan polos.

“ Lima belas tahu ! “ gerutu Matilda menyambar piring John dan mengambilkan sepiring lagi kue panekuk untuknya.

“ Hehehe. .” John tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.

Baik John maupun Matilda kini sedang membayangkan masa kecil mereka saat menonton Talkless. Mereka tak tahu apa yang terjadi pada hidup mereka jika Kaum Talkless tak hadir. Mungkin mereka berdua tak akan bertemu. Dalam kisah tentang Talkless.

Secara tak langsung Talkless telah membantu mereka menemukan cinta sejatinya.

(* * *)

Di sebuah hutan Oak, kerudung-kerudung cokelat berjalan terseok-seok di tengah tumpukan salju. Ada yang tinggi, pendek, gemuk dan kurus. Jumlahnya sekitar dua puluhan.

Gerombolan itu pun berjalan pelan menuju desa terdekat.

Seorang Talkless menatap ranting-ranting Oak di atasnya. Sinar matahari menghangatkan wajahnya yang tak terlihat.

Lalu dia tiba-tiba berhenti dan jongkok untuk mengambil sesuatu, lalu memasukkannya ke lengan jubahnya dan kembali berjalan lagi sambil melihat ranting. Mata biru safirnya tampak berkilau memantulkan cahaya.

(* * *)

Ariel tampak mondar-mandir di pintu gerbang desanya, tangan kirinya menggenggam sesuatu.

Tampak seorang gadis kecil keluar dari rumah terdekat dari gerbang lalu gadis itu bergegas lari ke arah Ariel. “ Hei Ariel. “ sapanya dari jauh. “ Hai Sonna. “ sapa Ariel juga.

Sonna tampak membawa sepiring kue sus.

“ Kau serius ?” tanya Ariel.

“ Serius. “ jawab Sonna mantap dan berdiri di samping Ariel. Ariel menatap sesuatu di genggamannya dan menutup jarinya kembali.

Sonna menoleh ke tangan Ariel. “ Itu apa ?” tanyanya ingin tahu. “ Ah, bukan apa-apa “ elak Ariel. “ Untuk Talkless ?” tunjuk Sonna pada tangan Ariel dan Ariel pun menggangguk pelan.

(* * *)

Perlahan tapi pasti, gerbang desa dipenuhi dengan anak-anak yang membawa makanan. Mereka percaya jika bisa melihat mata Talkless maka mereka akan mendapatkan keberuntungan. Entah itu benar atau tidak, tradisi memberikan makanan ini sudah ada sejak dulu di desa ini.

“ Ah itu mereka !” teriak seorang anak menunjuk kerudung-kerudung cokelat yang berjalan pelan dari hutan Oak.

Semua anak tampak berbinar. Mereka berusaha mencari kesempatan untuk melihat mata Talkless. Dan cara ini yang paling mudah.

Ketika rombongan Talkless tiba, mereka langsung diserbu pleh anak-anak yang menyodorkan makanannya. Mereka mengambil makanan itu dan memasukkannya ke lengan baju mereka. Sementaru itu Ariel kembali menatap sesuatu di tangannya dan berjalan mendekati seorang Talkless.

Ariel menyodorkan genggamannya dan Talkless itu berhenti. Arah kepalanya terlihat menatap genggaman tangan Ariel. Dan Ariel langsung menyambar tangan kanan Talkless itu dan menyerahkan sesuatu ke tangannya lalu langsung menutup tangan Talkless tersebut.

Talkless itu lalu membuka jarinya, melihat sesuatu yang diberikan Ariel. Wajah Ariel tampak gembira, lalu Talkless itu memegang bahu Ariel.

Perlahan, dari dalam gelap yang menutupi wajahnya, terlihat sepasang mata biru safir yang bulat dan berkilau, menatap lekat mata Ariel. Membuat rona merah di pipi Ariel yang pucat. “ Ah, mata yang sangat indah. .” kata Ariel dalam hati.

Seakan mampu mendengar suara hati Ariel, mata Talkless itu tampak seperti tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Dan Talkless itu melepas tangannya dari bahu Ariel dan bergabung dengan kaumnya, berjalan ke tengah desa. Meninggalkan Ariel dengan rona merah di pipinya.

“ Ariel, kau kenapa ?” tanya Sonna mendekat ke arah Ariel.

Namun Ariel masih bengong dan tersipu.

(* * *)